DEAR BLOODY HOMELAND

Amarillo Heinz

Takkan  ada cita-cita lain yang lebih luhur daripada hidup merdeka.

Diiringi alunan lengking tercabik, sejumlah siluet menggelepar merana di antara kobaran merah.

Namun sayangnya kemerdekaan tidaklah seperti berkah hujan yang turun saat langit cukup berawan,

Sepilu apapun tangisnya….

Atau kau sudah cukup menunggu sabar,

Sejauh apapun lengan kurusnya menggapai….

Atau memang takdir mengharuskan begitu.

Tabir menyala itu bergeming menghadang. Sengatnya tanpa belas kasih.

Kau harus berjuang!

Air muka lelaki berkulit coklat gelap itu menegang seketika. Giginya bergemeletak. Tangannya mengepal. Desir hawa lembab taman tidak sanggup mendinginkan gelegak mendadak emosinya.

KAU HARUS MEMAKSANYA TURUN!

Padahal kilasan membara itu telah lewat tiga puluh tiga tahun lamanya. Satu-satunya momen yang mustahil tergerus waktu. Dan betapa menggeramkan karena tragedi serupa masih kerap menimpa saudara setanah airnya.

“Aimar.”

Teguran merdu itu sontak membuyarkan angan. Ia lekas menoleh dan menemukan sesosok wanita tua berjubah kelabu. Meski berkeriput, namun paras itu seolah memendarkan sinar hangat yang serta merta meredakan kegalauan hatinya.

“Guru Sierra,” Aimar menghormat.

Si nenek lantas membentangkan kedua tangan selebar tawanya. Selang beberapa saat, guru dan murid itu berpelukan melepas rindu.

“Guru, jika kau masih ada pasien atau keperluan lain, aku bisa menunggu,” ucap Aimar.

“Kebetulan hari ini sepi,” Sierra membalas. “Ah, kukira kau datang bersama yang lain.”

“Semuanya sedang sibuk,” Aimar menggeleng. “Tapi mereka menitipkan salam terhangat untukmu.”

Wanita tua itu tampak kecewa meski bibirnya selalu mengulum senyum. Setidaknya ia boleh berjumpa lagi dengan murid tersayangnya yang pergi mengembara lima tahun silam.

Aimar menyerahkan sebuah bungkusan, “Kuharap bibit-bibit ini boleh mekar menyemarakkan tamanmu.”

Ternyata sang murid tidak pernah lupa cara menyenangkan hati gurunya. Selanjutnya seolah tak pernah terpisahkan waktu, mereka saling bertukar kabar.

“Tujuanku kemari adalah untuk mendengar pertimbanganmu.”

Jikalau waktu bisa dihentikan. Tapi Sierra paham benar bahwa muridnya singgah bukan hanya untuk sekedar bercengkrama santai.

“Semua sudah diputuskan, inilah saatnya,” lanjut Aimar. “Selagi angin pembaharuan bergelora kencang, sekarang atau tidak sama sekali.”

Waktu boleh berlalu. Tapi ada saja hal yang sulit tergoyahkan. Karenanya, Sierra sangat mengerti arah pembicaraan Aimar. “Tapi sebelumnya ada sesuatu yang ingin kutanyakan lebih dulu. Selama ini berkelana di luar sana, apakah makna kemerdekaan itu kini bagimu?”

“Segalanya,” Aimar menegaskan. “Nafas kehidupan.”

“Belum berubah?”

“Tidak akan pernah berubah.”

Sierra manggut-manggut. “Sekian lama hidup gelap terjajah, kemerdekaan memang seperti cahaya menyilaukan. Jiwa terbuai nyaman. Tapi apa yang tampak setelah kilaunya memudar? Sangat mungkin kau akan tetap melihat belenggu dan derita,” ia menghela nafas sejenak. “Tidak. Selama terbiasa bersujud di rumah sendiri, Quethrop masih harus banyak belajar. Membasmi akar kebodohan yang sudah mengakar lintas generasi tidaklah semudah membalik telapak tangan.”

“Tapi, Guru, kau harus mengerti. Situasi sekarang sudah jauh berbeda. Rencanaku matang. Pendirianku seteguh karang. Aku tidak akan mengulangi kesalahan para pendahuluku.”

Sepasang mata hijau itu menatap seksama lelaki berambut hitam ikal yang berdiri tepat di hadapannya. “Ya, tampaknya kau memanfaatkan benar tahun-tahun perantauanmu. Aku melihat pengalaman dan kebijaksanaan yang berlipat. Aura karismamu juga semakin pekat,” desisnya. “Tapi aku tetap masih belum menemukan kedewasaan.”

“Aku tidak mengerti….”

“Pihak yang bertempur tanpa perintis akan selalu kalah,” tandas Sierra. “Ya, posisi itu memang tidak bergengsi. Kau harus rela berjuang keras meski akhirnya mungkin tidak turut mengecap hasil manis.”

Raut Aimar semakin mengerut.

“Tapi itulah proses. Mustahil kau bisa meraih bintang tanpa terlebih dulu meletakkan titian tangga,” lanjut Sierra. “Jadi jika revolusi ini memang harus terjadi, bukan kau yang akan menjadi pemimpinnya.”

“Aku hanya ingin segera mengakhiri kesengsaraan Quethrop,” sela Aimar tinggi. “Apakah aku salah? Atau kau lebih setuju jika penjajah Gorgatos keparat itu membunuh lebih banyak lagi saudara-saudaraku?!”

“Aku tidak berkata begitu.”

“Lantas mengapa ucapmu selalu seperti itu sejak dulu? Mengapa meruntuhkan semangatku?“

“Aimar,” nada suara Sierra tetap dalam dan tenang. “Kau adalah muridku yang terbaik dan karena itu, sudah selayaknya aku senantiasa berbicara demi kebaikanmu.”

Aimar tidak segera menyahut. Nafasnya menderu naik turun. “Guru, sebenarnya yang kuinginkan darimu hanyalah restu. Tidak kurang. Tidak lebih.”

Sierra mendesah resah. “Baiklah, kalau begitu bagaimana caramu menang nanti?”

Sejenak Aimar mengatur nafas. “Dengan irama yang tidak disangka-sangka. Segarang kobaran api. Seluwes aliran air. Semisterius sunyinya malam. Segalanya tepat seperti yang kauajarkan.”

“Bagus. Lalu apakah kau sudah bersiap untuk akibat terburuk?”

“Aku tidak bertempur untuk gagal.”

“Tapi sebaiknya kau jangan lupa, jika segalanya berjalan tidak sesuai, maka yang akan berderai air mata darah bukan hanya dirimu saja.”

Beberapa saat kemudian, perdebatan itu hanya berlangsung dalam tatapan mata saja.

“Sejak semula, seharusnya aku tahu,” akhirnya Aimar berkata. “Kita tidak sejalan lagi.”

Lelaki tegap itu mengalihkan pandangannya. Sekonyong-konyong ia menemukan sesuatu tersembunyi di antara kerimbunan sulur dan belukar di taman kusam itu.

“Sejujurnya aku ingin bunga mungil itu tidak hanya mekar di Alma saja.”

Sierra mengikuti sorot mata muridnya dan segera menemukan sekuncup mawar kuning berseri. Sesuatu yang memang tidak lazim ditemukan di tanah Quethrop.

“Aku juga selalu berharap,” Aimar mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. “Akan ada saatnya di mana setiap Quethrop boleh mengenakan gelangmu ini.”

Sierra termangu. Sebenarnya gelang manik-manik itu adalah pernak-pernik biasa. Semua muridnya di Alma juga dihadiahi benda yang sama. Namun Aimar memendam makna khusus. Pertanda bahwa dirinya telah diangkat dari kenistaan dan kembali bermartabat. Pengingat bahwa betapa hidup yang kejam dan tidak adil ini harus dihadapi pantang menyerah.

“Baiklah, jika tekadmu memang sudah sangat bulat,” ucap Sierra. “Meski aku tidak mempunyai nasihat yang cukup berguna, tapi kedatanganmu kemari bukanlah untuk kesia-siaan. Maka jika kau mempunyai beberapa permintaan, katakanlah. Aku akan berusaha mengabulkan tiga di antaranya saja.”

Aimar menghela nafas, lalu menoleh dan menatap penuh harap. “Guru, dampingilah aku sebagai ahli taktik.”

“Bukankah katamu kita sudah tidak sejalan?” Sierra langsung menggeleng. “Lagipula aku tidak mungkin membunuh saudaraku sendiri. Jadi mintalah apapun, asalkan tidak melibatkanku langsung.”

Aimar mendesah kecewa meski sangat mengerti. “Baiklah, aku ingin meminta dukungan kaum hydra.”

Sierra mengangguk. “Aku akan berbicara langsung pada Anemone. Kupastikan kau memperolehnya.”

“Biarlah Fremio, Caidera, Tobago, dan murid-muridmu yang lain turut membantuku.”

“Sebenarnya aku tidak berwenang atas urusan yang menyangkut keputusan penting orang lain,” ucap Sierra. “Tapi sebagai Quethrop sejati, kukira sudah sepantasnya mereka turut serta dalam misi mulia ini.”

Aimar bergeming cukup lama.

“Sudah dua,” Sierra mengingatkan. “Apa yang terakhir?”

“Aku belum bisa menentukan sekarang.”

Nenek itu tersenyum masam. “Kalau begitu, simpan baik-baik. Katakanlah nanti, jika sudah terpikirkan olehmu.”

“Terima kasih, Guru.”

“Sekarang pulanglah. Bantuan itu yang akan datang menemuimu nanti.”

Aimar terdiam lagi sejenak sebelum tiba-tiba bersujud sangat rendah hingga dahinya menyentuh lantai.

“Muridmu, Aimar, memohon doa restu!“

Sorot tua itu sangat sendu sebelum terpejam rapat. Jemarinya menjulur kaku untuk membelai rambut sang murid yang sudah dianggap darah dagingnya sendiri. Bibir tipisnya gemetar saat melirih, “Aku akan selalu berdoa untuk keberhasilanmu, Nak.”

Aimar bersujud lagi tiga kali sebelum bangkit berdiri. Air mukanya kini benderang.

“Setelah perjuangan ini selesai, hanya tinggal satu lagi mimpiku,” Aimar menerawang cerah. “Kembali ke Alma, hidup tenang, membantu menyiangi tamanmu sekalian belajar melupakan segala kengerian di masa lampau.”

Tidak ada lagi topik penting yang harus dibicarakan dan tak lama kemudian, Aimar berpamitan.

Giliran si nenek yang termenung di pekarangan belakang pondok bambunya. Perhatiannya tertuju pada bentuk berkelopak kuning itu. Entah kenapa tanah Quethrop bersikeras melarang kehadiran warna-warni ceria. Barangkali karena iklimnya yang basah. Atau karena lingkungannya yang berawa lumpur. Atau karena ketelatenannya yang masih kurang. Atau bisa jadi karena kutukan langit. Siapa tahu? Tapi tidak sekali pun ia lelah berusaha meski seringkali jerih payahnya gagal terbayar.

Maka untuk kesekian kalinya, ia bertanya-tanya. Apakah mawar yang dirawatnya sejak masih benih itu akan bertahan dan merekah cantik? Ataukah akan layu sebelum berkembang seperti mawar-mawar sebelumnya?

***

Dada Aimar membusung percaya diri. Di bawah sana, ribuan prajuritnya berjajar tertib. Rekan-rekan seperjuangan yang selama setahun terakhir ini turut bersamanya meraih serentetan kemenangan. Ia sangat yakin Quethrop akan segera terbebas dari kesuraman. Cita-cita kian dekat.

Setelah basis terkuat Telila ditumbangkan, kini praktis hanya tinggal Infama yang menjadi andalan Gorgatos.

Namun ada-ada saja kerikil pengganggu.

Trossal, sahabat tetangga Gorgatos yang juga sangat berkepentingan di tanah emas permata Quethrop, mengerahkan bala bantuan beserta panglimanya yang paling cemerlang, Scipio. Dan nama yang satu ini tidak perlu waktu lama untuk menorehkan luka mendalam. Pos perbukitan Sermin digasaknya sedangkan para prajurit Quethrop yang tertangkap hidup-hidup dikirim balik dengan wajah tercoreng rajah penuh cela.

Tapi sepertinya penundaan singkat tidaklah masalah. Sermin sejalur dengan Infama. Posisinya juga dinilai kritis karena bisa mendatangkan serangan belakang tak terduga. Ditambah lagi sikap meremehkan Scipio yang hanya menempatkan seribu pengawal saja.

Dan yang terutama, demi derajat.

Dengan pengerahan kekuatan sepuluh kali lipat, Aimar memperkirakan jadwal kampanye serbuan Infama tetap berjalan mulus. Sejelek-jeleknya pun ia hanya akan terlambat sehari untuk tiba di lokasi kesepakatan dan bergabung dengan pasukan yang lain. Fisik juga tidak akan terlalu dikorbankan. Justru semangat yang terpacu semakin menggebu. Ibarat menginjak ular sepanjang jalan.

Ya, pembalasan akan tercipta kilat dan manis. Darah dibayar darah. Rajah dibayar rajah.

“Pimpinan,” Fremio, kakak seperguruan Aimar di Alma, melapor. “Lawan menghadang di Rouena.”

“Apakah Scipio turun tangan langsung?”

“Tidak. Ia mengutus ajudannya. Seorang perwira muda bernama Marius.”

Aimar memastikan melalui teropongnya. Untuk mencapai Sermin, ia memang harus terlebih dulu melalui lembah sempit yang terapit tebing menjulang. Namun satu pasukan berpanji griffin kembar telah lebih dulu menutup rapat mulut jalur itu.

“Cih,” Aimar mendengus. “Hanya beberapa ratus saja.”

“Tapi itu adalah prajurit elit Trossal,” sahut penasihat utamanya yang berambut kelabu itu. “Paladin.”

Daripada Scipio, sejujurnya Aimar lebih menyegani nama ‘paladin’. Jajaran ksatria yang tersohor karena ketangguhan, kedisiplinan formasi, dan semboyan penggetar nyalinya. Tapi tetap tidak ada alasan untuk kecut hati. Selama ini, ia juga sudah mendulang berbagai kemenangan gemilang. Tikus pesakitan telah menjelma ajaib menjadi singa perkasa. Maka lebih pantas jika merekalah yang harus waswas oleh terkaman dendamnya.

Sesaat kemudian sangkakala melolong panjang. Yel-yel perang berkumandang. Para prajurit Quethrop menyongsong buas menuju mangsa yang tersaji di hadapan. Di seberang sana, para ksatria berzirah perak tetap kukuh di posisinya. Bagaikan tembok sunyi, mereka membendung hempasan dahsyat itu. Di bawah komando Marius, perisai menyiaga, tombak menusuk, pedang menebas, anak panah mendesing, dan mantra dirapal beraturan.

ONE TO DEFEAT ALL!

Dada Aimar mencelos antara gentar dan murka. Semboyan bergema itu menjungkalkan kejumawaannya. Alam bersekongkol dan menghapus sekejap keunggulan jumlah yang diagung-agungkan itu. Teknik dan pengalamanlah yang menjadi penentu. Tapi ia tidak jera. Sekalipun tembok itu kokoh, pastilah ada batasnya.

“Komodo!”

Bentrokan berlanjut. Lidah dan taring racun menjulur ganas di bawah lecutan para penunggangnya. Tapi tembok itu telah melumer menjadi mata rantai lentur. Tidak ada aksi perseorangan. Meski tampaknya terdesak mundur, tapi sebenarnya tangkis dan hantam mengalun harmonis. Kadal-kadal seukuran kerbau gemuk itu dilumpuhkan kompak satu demi satu. Aimar kembali gagal.

Bahkan kehadiran malam sama sekali tidak menyurutkan ambisi Aimar untuk segera menembus Rouena. Jajaran prajurit kawakannya dikerahkan rahasia saat langit begitu gelap. Tapi bukan berarti tembok itu terlelap. Jebakan lubang telah dipersiapkan. Yang hendak mengejutkan malah balik dikejutkan.

Musnah sudah segala kesabaran.

“SERANG BESAR-BESARAN!”

Kali ini, Aimar benar-benar serius meski lawan hanya segelintir saja.

Besar-besaran dalam arti paling sebenarnya. Hydra.

Menyadari gelagat gawat itu, Marius menarik mundur pasukannya. Hingga di satu kelokan yang agak menyempit dan cekung, para paladin itu tiba-tiba saja berbalik dan menyusun formasi. Sejumlah paladin melongok dari ketinggian tebing. Botol-botol minyak melayang ke arah cekungan tepat saat monster-monster hijau melata berkaki empat dan berkepala lima ular itu melintas. Obor disulut dan medan pertempuran kian panas.

Antara panik dan liar, hydra-hydra itu lepas kendali dari pawangnya. Ada yang mundur, ada pula yang terus merangsek tidak peduli. Salah satunya adalah Anemone, yang paling buas dan sisiknya merah ungu. Ratu para hydra.

Marius sudah menduganya. Maka ia langsung meneriakkan nama Ehud. Sesosok ksatria berperawakan biasa menyeruak keluar. Tubuhnya hanya mengenakan pelindung kulit dan zirah ringan. Ikat kepala kain menggantikan ketopong baja. Sebilah pedang mithril bermata intan tergenggam erat di tangan kiri. Dengan modal pas-pasan seperti itu, seorang diri ia menerjang lawan yang berperawakan empat kali lebih besar.

Ehud terus berlari dan berguling lincah entah untuk menghindari caplokan gencar atau ludah asam atau kibasan ekor Anemone. Mata dan nalarnya terpusat utuh menilik kesempatan dalam kesempitan. Saat menemukan secercah lengah, ia segera menyusup dan memanjat gesit ke punggung lawan. Anemone menggeliat gila tapi Ehud tetap sabar. Waspada ia berkelit. Tekun ia menikam. Kepala demi kepala dipenggal putus. Sang ratu pun jatuh berdebam.

Naluriah hewani, menyaksikan Anemone gugur, hydra lainnya ketakutan dan kabur tunggang-langgang. Lagi-lagi hasil pahit bagi Aimar. Lebih pahit lagi saat imbasnya meluas. Nyali pasukan Quethrop remuk redam sehingga serbuan terpaksa harus dihentikan sementara.

Senja itu, dalam kemurungan, Fremio menghembuskan nafas segar, “Aku menemukan jalur setapak di utara. Kita bisa menempuh jalur itu untuk menjepit lawan depan belakang.”

Sayang sekali, Marius sadar benar kelemahannya. Ketika rute memutar itu mulai disusuri lawan, detik yang sama ia menginstruksikan penarikan mundur ke Sermin.

“Lihatlah, bajingan pengecut itu lari terbirit-birit!” Aimar membakar semangat. “Inilah saatnya untuk menumpas mereka!”

Aimar memprakarsai langsung pengejaran. Tapi lagi-lagi Marius tahu trik mempersulit. Batu-batu besar digelindingkan dari atas tebing. Bahkan Aimar nyaris tertimbun seandainya Fremio terlambat memperingatkan. Sehari penuh jalur itu dibersihkan hingga kembali membentang dan pengepungan Sermin bisa dimulai.

Bukannya Aimar tidak menghiraukan pondasi alami Sermin yang terpahat sangat kokoh pada tebing. Bukan pula mengesampingkan medan sekelilingnya yang sempit terlindung dan bergelombang curam. Tapi perkiraan waktu sudah terlalu jauh mulur. Maka dengan rencana gempuran gaya air bah, ia meyakinkan diri mampu menjebol pertahanan strategis itu dalam setengah hari saja.

Tentu Scipio meladeni ekstra sengit. Para paladin berjuang kompak menghalau serbuan dari segala arah. Para pendeta sibuk memulihkan semangat dan luka. Batu, api, panah, peluh, pekik, darah, segalanya dilontarkan untuk mengusir tamu tak diundang.

Pagi berganti siang. Siang berganti sore. Ternyata panji singa bersayap masih tetap berkibar anggun di antara gelimpangan mayat. Quethrop putus asa. Namun Aimar bereaksi cepat dan menghukum tegas setiap pengecut. Bersamaan ia juga menjanjikan emas untuk setiap helm perak. Metode ini cukup ampuh untuk memompa kembali semangat jajaran prajuritnya yang lunglai. Tapi tidak dengan Fremio.

“Alam dan waktu, Trossal bersekutu dengan pihak yang terlalu kuat,” komentar Fremio saat bersama Aimar dan segelintir perwira tinggi lain. “Pimpinan, kumohon batalkan operasi ini. Resikonya tidak lagi sepadan. Terlalu banyak pengorbanan percuma. Infama-lah yang lebih layak dikuatirkan.”

Sejenak Aimar memperhatikan ekspresi lesu para prajuritnya yang berbaris tertatih-tatih. “Tidak bisa,” sergahnya. “Kita sudah terlanjur berjalan sejauh ini. Justru semuanya sia-sia belaka jika kita mundur.”

“Renungkanlah lagi apa yang terjadi selama empat hari belakangan ini,” ujar Fremio. “Sejak awal, Scipio sudah memperhitungkan segalanya. Ia sukses menggiring kita untuk bertempur di medan kesukaannya dan kemudian memeras habis tenaga kita.”

Aimar mengernyit serius.

“Memang hingga saat ini, ia hanya terus bertahan rapi. Tapi sejujurnya aku cemas pada taktik pamungkas macam apa yang siap dilancarkannya saat kita sampai di titik terlemah.”

Sebenarnya uraian Fremio bisa diterima. Tapi Aimar pun memendam satu alasan untuk tetap bersikukuh pada pendiriannya. Penyakit akut Quethrop. Mental penakut, penjilat, dan pengkhianat. Karenanya, ia tidak boleh memberi sedikit pun angin sehingga penyakit itu kembali menjangkit.

“Tapi apa kata para prajurit jika kita mundur begitu saja?” ucap Aimar. “Dan apakah kau sudah lupa rajah penghinaan itu?”

Perdebatan bergulir semakin panas hingga akhirnya Fremio meratap putus asa. “Pimpinan, mengapa kau meletakkan harga dirimu setinggi itu?”

Emosi Aimar meledak. Tinjunya melesat dan melesak telak hingga lelaki jangkung ringkih itu terhempas. “Jaga mulutmu, tikus pengecut!”

“Kau boleh menghajarku. Kau boleh memecatku. Kau boleh menggantungku. Kau boleh melakukan apapun,” tangis Fremio lantang. “Tapi kau tidak boleh menyeret saudara-saudaraku dalam kematian!”

Pembicaraan usai. Sesuai peraturan, seharusnya pembangkangan dihukum mati. Kepala Aimar memang masih cukup dingin sehingga penasihatnya itu hanya diganjar cambuk dan penjara. Namun tetap saja setelah kejadian itu, ia melamun hampa. Ia baru saja kehilangan figur yang menjadi perwakilan akal dan nurani sang guru.

Menjelang fajar, saat kantuk menyergap hebat-hebatnya, Sermin mengobarkan sinyal misterius. Insiden Rouena segera menanggalkan kedoknya sebagai pengulur waktu dan penguras daya. Tampang aslinya adalah pengalih perhatian. Saat pertikaian berlangsung ketat di celah bertebing, Scipio sibuk menggali lubang-lubang rahasia di sudut lereng terpencil. Kini dari sarang buatan itu, sejumlah sosok hitam berkelebatan keluar. Dengan cepat mereka mengatur posisi lalu berderap senyap menuju kubu logistik Quethrop di garis belakang yang lalai terkawal. Ketika langit kelam merona merah berasap, genderang ditabuh nyaring bertalu-talu. Gerbang Sermin turun seiring suatu semboyan diserukan nyaring.

Kekuatiran Fremio terkabul. Taktik pamungkas.

Tapi Aimar selalu memegang teguh prinsip. Lebih baik kehilangan pasukan daripada kehormatan. Maka dalam ketidakpastian itu, ia turun tangan langsung dan menggalang kekuatan.

“BANGKIT! LAWAN!”

Tidak peduli kebakaran. Tidak peduli kekacauan. Tidak peduli maut. Pokoknya pantang mundur, balik menyerang, dan akhirnya menang.

“MERDEKA ATAU MATI!”

Namun keajaiban pun ada batasnya. Singa-singa perkasa itu telah balik ke wujud asal.

***

Hari-hari di Alma tidak akan pernah sama lagi sejak seluruh Quethrop menggenapkan tekad tunggal. Para penghuninya pergi serempak namun belum ada seorang pun yang pulang. Pondok mungil terpencil itu tinggal menyisakan Valena si perawat dan keheningan. Bahkan pasien sakit pun sudah jarang yang berkunjung lagi sejak kemerosotan drastis Aimar yang berujung pembantaian telak di Telila.

Tapi petang itu ada yang berbeda. Saat sibuk bertaman, Sierra mendengar langkah-langkah kaki lazim di kejauhan. Teriakan Valena membuktikan firasatnya. Nenek tua itu bergegas keluar kegirangan. Akhirnya ada satu yang kembali. Fremio.

Namun di lain pihak, Fremio terlihat pucat dan kusut. Mendung. Sama sekali tidak tebersit ketenangannya yang khas. Lalu tiba-tiba saja ia jatuh bersimpuh, membentur-benturkan dahi keras, dan mulai meraung.

“Guru, hukumlah aku! Karena muridmu ini sungguh tidak berguna!“

Sierra sesak saat menduga-duga kabar tragis macam apa yang akan segera disampaikan muridnya itu.

“Tobago, Caidera, semuanya! Semuanya salahku! Hukumlah aku!”

Meski getir, nenek itu masih berusaha tersenyum. Ia lekas menghampiri Fremio dan menghiburnya, “Semua itu bukan salahmu. Aku yakin, kau sudah melakukan yang terbaik. Lagipula setiap orang memiliki garis hidupnya masing-masing. Ayo, bangunlah.”

Tapi Fremio terus menangis dan menolak berdiri. Sambil tetap bersimpuh, ia menyerahkan sepucuk amplop. Sierra langsung meraih dan merobeknya. Isinya secarik kertas dan selingkar gelang usang.

Guru, inilah permintaanku yang ketiga. Kukembalikan gelang ini, yang dulu kauuntaikan saat melahirkanku dari ketiadaan. Kumohon kau mau menerima dan menguburkannya di antara bunga-bunga di tamanmu. Karena aku tidak punya rumah lain untuk pulang. Dan hanya dengan begitu saja, aku tahu bahwa selamanya aku akan tinggal di dekatmu. Tapi jikalau permintaan ini tidak berkenan, aku bisa sepenuhnya memahami. Aku sungguh mengecewakan. Maaf dan sujud tidak cukup untuk menghapus dosaku.

Sebenarnya ingin sekali kukatakan langsung permintaan ini kepadamu, Guru. Tapi tidak bisa. Aku sudah tidak mempunyai muka lagi.

Aku sudah mati.

***