NEGERI IMPIAN AIRA

Mia Wawa

Hari ini Aira kesal. Disepanjang jalan ingatannya hanya pada satu nama, yakni Moza. Mungkin Aira tidak sekesal ini jika Moza tidak sering mempermalukan dirinya dihadapan teman-teman. Entah apa sebab Moza selalu menghinanya tiap hari, mungkin karena Moza iri dengan kepandaian Aira.  “Dasar jelek, anak orang miskin, bau dan lain-lain…” itu yang selalu dikatakan Moza terhadap Aira. Moza anak orang kaya, cantik dan popular di kelasnya. Dan semuanya itu berbanding terbalik dengan apa yang dimiliki Aira.

Malam harinya Aira naik ke atas loteng rumahnya, ia menatap bintang di langit dari jendela. Ia berandai-andai di sana, hingga tiba-tiba muncul seekor kucing putih dan berbulu indah. “Eh…Pus… darimana asalmu? Cantik benar bulumu,” kata Aira mengangkat dan menggendong kucing putih itu. Lalu ia kembali duduk ke tempatnya semula. “Pus…ada nggak yach negeri indah yang pemiliknya adalah aku dengan rupa cantik dan memiliki segalanya? Andaikan ada pastilah Moza aku kurung di tempat gelap hingga ia tidak bisa mengagumi dirinya sendiri dan sombong terhadap semua orang. Aku ingin ke sana Pus…,” kembali Aira menatap langit.

“Hei… ada bintang jatuh,” teriak Aira kemudian ia berandai-andai lagi. Tak lama kemudian ia merasakan goncangan yang sangat hebat, hingga ia memeluk kucing putih itu sambil menutup matanya. Setelah goncangan dirasa berhenti, ia membuka matanya. “Waow… indahnya. Dimana aku?” tanya Aira pada diri sendiri. “Anda berada di negeri Impian yang Mulia,” jawab kucing putih tiba-tiba. Aira kaget, lalu melepaskan dekapannya. “Eh maaf…. aku nggak sengaja. Kau… kau bisa bicara?” tanya Aira keheranan. “Iya yang Mulia, ini adalah negeri impian Anda. Panggil saja aku paman Sam, dan aku yang selalu mendampingi Anda di sini,” kata kucing itu.

“Betulkah? Oh senangnya hatiku. Keistimewaan negeri ini apa saja paman Sam? Oiya panggil aku Aira saja,” kata Aira sambil berlari menyusuri lembah penuh bunga warna-warni yang harum baunya. Meski hari telah malam, tapi keindahan negeri itu begitu jelas terkena terpaan sinar rembulan yang seakan senyum ramah menyambut Aira. Ia terus berlari hingga kelelahan, namun secara tiba-tiba bunga yang ada disekitarnya memisahkan diri dari tangkainya dan menyatu membentuk permadani yang indah, lalu seakan-akan mempersilahkan Aira untuk menaikinya. Ia terbang mengelilingi negeri Impian. Kemudian ia memerintahkan permadani untuk berhenti disebuah kastil kaca yang dihiasi batu permata dan Kristal warna-warni.

“Oh indahnya.” Dia mendekati kastil itu, lalu tiba-tiba ia melangkah mundur. “Jangan kaget Aira, itu hanya bayangan dirimu,” kata paman Sam. “Secantik itukah aku sekarang?” tanya Aira kemudian meraba bayangannya di tembok kastil yang terbuat dari kaca. Ia mengamati dirinya dan mengagumi pakaian yang ia kenakan. Sungguh berbeda dengan yang ia gunakan sehari-hari batinnya. Bahkan lebih bagus dan indah daripada yang dipakai Moza. Ia  benar-benar merasa bagai ratu.

“Bolehkah aku memasukinya paman Sam? Tanya Aira. “Tentu,” jawab paman Sam. Ketika gerbang kastil terbuka, ia mengurungkan diri untuk masuk ke dalamnya. Tapi paman Sam buru-buru memberi isyarat padanya agar ia terus memasuki kastil kaca. Aira sempat ragu, karena lantai tembus pandang dihadapannya seolah-olah akan membuat ia tenggelam. Aira berdecak kagum menikmati indahnya pemandangan dasar laut yang indah dengan keanekaragaman makhluk di bawah kakinya. Kemudian Aira kembali melangkahkan kakinya ke dalam kastil. Ia terpana melihat isi di dalamnya. Pilar-pilar besar yang menyanggah kastil itu terlihat kokoh dan indah, atap kastil yang dipenuhi permata warna-warni begitu terlihat megah.

Kemudian Aira terus menyusuri lorong-lorong kastil itu. Dan di tiap lorong terdapat berjejer pintu-pintu kamar. Setiap ia membuka pintu-pintu kamar itu, ia kembali berdecak kagum dengan apa yang dilihatnya. Karena apa yang ada di dalamnya adalah tempat-tempat yang selalu ia bayangkan dalam dongeng-dongeng yang ia baca selama ini. Yakni kamar-kamar besar yang indah nan megah, hamparan permadani luas sehingga orang yang melihatnya ingin segera merasakan kelembutannya, tempat tidur besar yang terbuat dari emas dan perak serta segala pernak perniknya yang terlihat mewah.

Aira membuka pintu satu persatu hingga ia sampai di dua pintu paling ujung. Ketika ia hendak membukanya, paman Sam cepat-cepat melarangnya. “Jangan…jangan sentuh gagang pintu itu.” “Kenapa paman? Bukankah kastil ini milikku?” tanya Aira cepat. “Semua pintu boleh dimasuki, kecuali yang ini. Karena kalau tidak, maka kamu akan kembali ke asalmu Aira. Kamu akan kembali miskin dan tentu saja di dunia nyata kamu akan berbeda dengan yang sekarang,” jawab paman Sam lalu meninggalkan Aira. Aira mengeryitkan dahi sambil mengangkat pundaknya, lalu ia menuju ke pintu-pintu yang lain.

Karena kelelahan Aira memilih tidur di kamar yang ia sukai. Ajaib, semua yang ia inginkan bisa terpenuhi. Dari makan, minum bisa ia dapatkan di kamarnya. Bahkan ketika ia hendak tidur, bantal dan selimut pun bergerak tanpa diperintah untuk memberi kenyamanan bagi Aira. Aira senang dan Aira telah melupakan masa lalunya termasuk ibunya.

Keesokan paginya, Aira bersemangat hendak keluar kastil untuk keliling negeri Impian. Sesampai ia di depan gerbang ia menatap langit seraya mengagumi awan-awan putih di atas sana. Tanpa ia sadari sebuah awan cantik menghampirinya, seakan menyuruh Aira untuk menaiki. Lalu Aira menduduki awan itu setelah paman Sam menyuruhnya. “Waow…., lihat paman Sam…, aku terbang….,” kata Aira. Ia terbang diantara awan-awan lainnya, hingga tingkahnya itu menjadi perhatian para penghuni awan. Mereka mirip peri berpakaian serba putih dan tersenyum melihat tingkah Aira. Setelah ia puas terbang ke sana kemari, Aira memerintahkan awan untuk membawanya ketempat yang lain.

Dan awan membawa Aira ke kebun buah. Anehnya kebun itu lebih mirip pemukiman penduduk, hanya saja rumah mereka berbentuk aneka buah-buahan. Ia mulai berjalan dan berhenti ketika para kurcaci berbondong-bondong keluar dari rumah yang semuanya berbentuk aneka buah. Para kurcaci mulai menyapanya dan menyambutnya. Aira senang dan semakin lupa akan asalnya.

“Kemana lagi kita hai awan?” tanya Aira. Dengan cepat awan melesat dan membawa Aira ke kastil kaca lagi. “Hei… aku tidak menyuruhmu untuk pulang, hai awan…,” kata Aira protes. Aira masih ingin terbang lagi. Tapi awan segera pergi meninggalkan Aira. Datanglah paman Sam. “Aku yang menyuruhnya untuk segera kembali Aira,” kata kucing putih itu. “Tapi kenapa paman Sam, aku masih ingin berkeliling. Boleh ya…?!” pinta Aira.

“Boleh, tentu saja. Tapi aku minta kau kenakan kalung ini, Aira.” Kata paman Sam sambil memberikan kalung mutiara putih. “Kalung ini menandakan bahwa kau ratu di sini Aira,” jelas paman Sam. “Ingat! Jika  kau melanggar aturan, maka kalung itu justru akan membahayakan kamu,” kata paman Sam. Tanpa pikir panjang Aira segera mengenakan kalung itu dilehernya. “Jadi sekarang aku boleh pergi lagi paman Sam?” tanya Aira. Paman Sam mengangguk dan memanggil seekor burung kecil berwarna keemasan yang kemudian berubah menjadi besar ketika Aira menghampirinya. Aira mundur karena terkejut. “Jangan takut Aira, burung itu yang akan mengantar kamu. Namanya Ruby,” kata paman Sam setelah melihat Aira Nampak ketakutan. “Bawalah ia ke tempat yang ia suka hai burung, tp jangan pernah kau dekati tempat larangan itu kembali seperti dulu,” perintah paman Sam. Burung itu mengangguk dan kemudian terbang membawa Aira ke angkasa.

“Wahai Ruby, sesungguhnya aku ingin pergi ke tempat yang paling indah. Tapi entah kenapa hati ini jadi penasaran dengan tempat yang telah dilarang paman Sam,” kata Aira. “Jangan Aira, atau paman Sam akan murka,” kata Ruby. “Hey… kau bisa berbicara seperti manusia juga. Memangnya ada apa gerangan di sana? Dan apa maksud bahwa kau dilarang ke tempat itu lagi, apa kau pernah ke sana?” tanya Aira.

“Iya aku telah melanggarnya dengan mengantar seseorang ke sana,” jawab Ruby. “Siapa seseorang tersebut?” tanya Aira lagi. “Dia hampir sama sepertimu, sama-sama menginginkan negeri Impian sebagai tempat pelariannya di dunia nyata,” jelas Ruby. “Sama sepertimu Aira, kau kesal terhadap Moza hingga kau berandai-andai ingin menyingkirkan Moza ke tempat yang tak ada kedamaian,” kata burung menambahi. “Bagaimana kau tahu tentang aku dan Moza, Ruby?” tanya Aira.

“Karena dalam waktu tertentu kucing jahat itu selalu mencari mangsa-mangsa baru Aira,” jawab Ruby. “Paman Sam itu baik, dia memberikan apa saja untukku, memberikan apa saja yang sebelumnya tidak pernah aku miliki selama ini,” kata Aira membela paman Sam. “Ketahuilah Aira dengan terpenuhinya semua keinginanmu, ada seseorang yang tengah menderita di sana. Nah, itu dia tempat larangan yang dimaksud paman Sam tadi,” kata Ruby.

Aira langsung menatap suatu tempat yang dimaksud burung. “Antar aku ke sana Ruby,” pinta Aira. “Maaf, aku tak bisa Aira. Paman Sam akan kembali menghukumku lagi seperti dulu. Ia akan mencabut bulu-buluku dengan paksa melalui pengawal-pengawalnya,” kata burung.

“Baiklah, turunkan aku Ruby. Karena aku semakin penasaran dengan tempat itu, dan kau kembalilah,” perintah Aira. “Ingatlah Aira, jika kau bisa berbuat baik di sana maka sihir kalung yang ada dilehermu bisa hilang dan lepas, dan kamu bisa kembali pulang,” kata burung memperingatkan. “Kalung ini maksudmu? Bukankah kalung ini akan melindungiku seperti apa yang dikatakan paman Sam? Dan aku tidak ingin pulang Ruby,” jelas Aira. “Sekarang masuklah Aira, dan jika kau sudah kembali di sini bersiul lah untukku. Aku akan segera menjemputmu dan membawamu kembali ke kastil kaca. Tapi ingat Aira, kau tidak boleh berlama-lama di sini karena bisa-bisa paman Sam mengetahuinya.”

Aira mulai memasuki tempat itu yang lebih mirip hutan. Ia berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak yang ada. Ia mendengar tangisan, yang membuat Aira merinding. Ia tidak mengerti mengapa ada tempat semacam ini di negeri Impian, sungguh mengerikan. Pohon-pohon besar dengan ilalang yang tumbuh tinggi hampir menghilangkan pandangan matanya ke depan. Ada goa di ujung jalan setapak itu, entah apa yang menbuat Aira berani masuk ke dalamnya. Dan ia sungguh terperanjat dengan apa yang ia lihat di sana. Ia mengucek-ngucek matanya seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Aira melihat sesosok yang sangat ia kenal, ia melihat Moza dengan kondisi yang memprihatinkan. Pakaiannya lusuh dan badan yang tak terurus. Moza jauh sekali dibandingkan kemarin, batin Aira. “Aira, kaukah itu? Tolong aku Aira, aku di sini tersiksa. Entah apa yang terjadi setelah aku tidur semalam, hingga aku bermimpi buruk telah didatangi oleh seekor kucing putih. Dia lalu menyeretku, mengambil semua yang kumiliki dan akhirnya aku berada di sini,” pinta gadis berpakaian lusuh itu.

“Maksudmu kucing itu paman Sam?” tanya Aira. “Iya betul, kudengar ia disebut begitu oleh pengawal-pengawalnya,” kata Moza. “Tapi tunggu dulu, jangan-jangan kau yang mengirimku ke sini Aira. Karena kau membenciku, karena aku sering membuatmu kesal. Betulkah itu Aira?” tanya Moza seraya menjangkau Aira dan hendak memukul Aira. Tapi Moza terpental seketika setelah kalung yang ada di leher Aira tiba-tiba menyala berwarna biru. Ternyata benar kalung itu melindunginya dari amukan Moza yang bisa membahayakan dirinya. Moza meringis kesakitan. Ia bangkit lagi dan hendak menuju Aira, tapi langkahnya terhenti oleh jeratan tanaman liar yang tiba-tiba muncul. Aira lalu beranjak keluar dari tempat itu, ia bergidik melihat kejadian tadi. Ia berlari menuju jalan yang ia masuki tadi. Sepanjang ia berlari ia mendapati suasana hutan itu lebih menyeramkan. Pohon-pohon besar itu seakan mengamatinya dengan wajah geram. Aira makin mempercepat larinya. Akhirnya ia menemukan pintu masuk tadi. Setelah ia berhasil keluar, Aira buru-buru bersiul untuk memanggil burung yang mengantarnya tadi.

Suit…suit…suit…, tak lama burung itu menghampiri Aira. Segera Aira naik dan memerintahkan burung untuk meninggalkan tempat terlarang itu dan menuju kastil kaca. “Oh Ruby, tahukah apa yang aku temukan di sana? Aku mendapati Moza dalam keadaan lusuh dan kotor, ia tidak secantik dulu. Kenapa itu bisa terjadi wahai Ruby?” tanya Aira masih terengah-engah.

“Ketahuilah Aira, jika kau merasa senang maka sebaliknya dengan Moza. Ia akan sengsara di sana. Yang kau lihat tadi tak seberapa. Jika kau mendapatkan segala apa yang kau inginkan di negeri Impian, maka ia pun akan semakin tersiksa di sana,” jelas Ruby. “Kenapa bisa begitu?” tanya Aira. “Karena kau yang mengirimnya kemari, karena kau membencinya Aira,” jawab burung. “Tapi tidak sampai seperti ini Ruby, aku jadi kasihan padanya. Bagaimana aku bisa menolongnya Ruby?” tanya Aira menangis.

“Tenanglah Aira. Apakah kau mengetahui sebuah tempat rahasia di kastil kaca itu Aira? Aku yakin semua jawaban ada di situ. Ambillah sebuah bohlam merah yang ada di sana, aku yakin selama kau memegangnya, kucing putih itu tak akan berani menyakitimu,” jelas burung.

“Sebenarnya siapa paman Sam itu?” tanya Aira lagi. “Ia adalah penguasa jahat di negeri ini, dan ia iri terhadap manusia. Makanya ia menjadikan manusia yang sedang berselisih untuk dihancurkan secara perlahan. Walaupun saat ini kau bahagia, tapi suatu saat kau juga akan menderita.” Burung itu mengepakkan sayap besarnya dan semakin mendekati kastil kaca. “Ingat Aira jangan sekali-kali kau tanyakan masalah ini pada paman Sam, karena ia akan marah dan bisa-bisa kau akan dikirim ke tempat Moza berada saat ini. Tunggulah sampai kau mendapatkan bohlam merah itu. Setelah kau dapatkan, segera panggil aku Aira,” kata burung. Sesampainya di gerbang kastil, burung pun mendarat dan Aira segera turun.

Tiba-tiba paman Sam sudah berada dekat Aira dan membuat kaget sehingga ia mengelus dadanya. “Ah paman Sam, membuatku kaget,” kata Aira. “Hmmm…dari mana saja kalian selama ini?” tanya paman Sam. “Kami hanya berkeliling-keliling di sekitar sini Tuanku,” jawab burung. “Betulkah Aira?” tanya paman Sam pada Aira. “Emm…eh..iya…paman Sam, seperti tadi aku kembali terbang dari awan satu ke awan lainnya serta ke lembah bunga,” jawab Aira gugup. Aira menjadi ngeri melihat tatapan mata paman Sam yang seakan-akan menusuk jantungnya.

“Ya sudahlah, segera Anda bersihkan dirimu dan beristirahatlah yang mulia ratu,” kata paman Sam menjadi ramah. Tapi Aira merasa itu hanyalah kamuflase belaka. “Segera bawa aku ke tempat biasa hai burung,” perintah paman Sam. “Baik Tuanku,” kata burung sambil memberi isyarat pada Aira.

Aira mengangguk kecil, dan ia ingin segera menemukan bohlam merah itu sebelum paman Sam kembali. Ia berlari menuju pintu kamar larangan itu. Gemuruh di dadanya tiba-tiba serasa berlomba, mengingat mata paman Sam sedang mengawasinya. Kini ia berada tepat di depan pintu itu, ia mencoba membuka dan… trakk… pintunya tak terkunci. Aira berpikir kenapa paman Sam bisa lupa menguncinya.

Aira masuk perlahan-lahan, isi kamar itu tak berbeda dengan yang lainnya hingga matanya langsung tertuju pada bohlam merah di sudut kamar. Bohlam itu sebesar bola takraw Ia bergegas mendekatinya. Ia memandangi takjub bohlam merah yang diletakkan di atas meja. Bohlam itu kemudian berubah warna bening seperti air dan menggambarkan suasana rumah yang sangat ia kenali. Ya… rumah itu adalah rumah ibunya. Terlihat oleh Aira bahwa ibunya sedang menepuk pundak seorang wanita yang sedang menangis. Aira mengenali sosok itu, ia adalah ibu Moza yang kerap menjemput Moza dengan mobil mewahnya. Aira masih tetap mengamati, hingga ia mengerti bahwa ibu Moza sedang menangisi kepergian putrinya. Tapi… tidak…, ternyata ada Moza di sana sedang berbaring bersama… “Bagaimana bisa?” gumam Aira. Di samping Moza adalah dirinya sendiri yang sedang tertidur dan nampak bahagia. Sedangkan Moza terus-menerus memanggil nama Aira dan mengharapkan pertolongannya, karena seakan menghadapi musibah.

Tiba-tiba Aira teringat akan kata-kata Ruby agar segera membawa bohlam dan memanggilnya. Lalu dengan cepat Aira mengangkat bohlam itu dan bergegas keluar kastil. Aira bersiul dan tak lama kemudian datanglah Ruby itu. “Ayo… cepat Aira, paman Sam sedang menyiksa jiwa Moza. Kalau tidak tertolong maka Moza akan selamanya terjebak di sini begitu juga kamu Aira,” kata Ruby.

“Betulkah? Pantas saja Moza sedang memanggil-manggil namaku Ruby, ia sedang terbaring di rumahku bersama… aku,” kata Aira. “Ketahuilah Aira, sebenarnya yang ada di sini bukanlah dirimu juga Moza melainkan jiwa kalian,” kata burung itu. “Bagaimana kau bisa tahu semua ini wahai Ruby?” tanya Aira keheranan. “Karena ini selalu terjadi Aira, tapi hanya kamu yang berani mengambil langkah ini. Sebab sesungguhnya kamu anak yang baik dan tidak benci terhadap Moza,” kata burung emas menjelaskan. “Itu dia tempatnya, cepat turunkan aku Ruby,” pinta Aira.

Ruby pun menurunkan Aira seraya berkata, “Berikan bohlam itu kepada Moza dan suruhlah ia melemparnya hingga pecah Aira, maka kalian akan kembali ke asal kalian. Ingat! Harus Moza yang memecahkan bohlam itu, karena ia yang menderita.”

“Lalu bagaimana dengan nasib paman Sam?” tanya Aira. “Tak usah kau hiraukan dia, dan bergegaslah Aira sebelum semua terlambat,” Ruby menghimbau.

Tak diduga di depan Aira kini sudah ada paman Sam. Dilihatnya muka paman Sam sedang murka dengan tatapan matanya yang tajam. Namun Aira tak menghiraukan dan segera lari menuju Moza. Ia melihat Moza sedang bersusah payah menyelamatkan dirinya sendiri yang terjebak di lumpur hisap. Aira mencoba menolongnya, namun tiba-tiba ia merasakan sakit akibat kalung yang menjeratnya. Aira gagal menyelamatkan Moza dan bohlam pun jatuh dari tangannya. Tiba-tiba Ruby datang dan ia langsung mengangkat Moza yang sudah hampir tenggelam. “Moza segera ambil bohlam merah itu, lemparlah hingga pecah,” perintah Ruby.

Aira masih kesakitan dengan lehernya yang terlilit kalung pemberian paman Sam. “Itulah akibat dari anak tak tahu diri seperti kamu Aira, padahal di sini aku sudah memberikan yang engkau mau,” kata paman Sam. “Tidak…kau tidak memberikan apa-apa padaku paman Sam, tapi kau telah mengambil kami dari dunia kami yang sebenarnya,” jawab Aira masih kesakitan sambil berusaha melepaskan kalungnya.

“Dan kau Ruby, kau akan mendapat hukuman yang lebih berat dari yang terdahulu,” ancam paman Sam. Tapi ia kaget setelah melihat Moza selamat dan sedang membawa bohlam merah yang tadi dipegang oleh Aira. Tanpa basa-basi lagi Moza melempar bohlam itu hingga pecah. Dan kalung yang melilit leher Aira terlepas dengan sendirinya. Dari bohlam merah itu kemudian muncul sinar kehijauan berbentuk lingkaran dan memantul ke dinding goa. Lalu dari lingkaran itu kemudian menjadi sebuah lorong menuju ke suatu tempat.

“Cepat Aira… Moza, segera masuklah kalian ke lorong itu. Kalian akan kembali ke dunia nyata,” pekik Ruby, si burung emas. Tanpa ragu lagi Aira menggandeng tangan Moza dan berlari menuju lorong itu. Mereka saling senyum dan seakan menemukan sebuah persahabatan yang indah. Lalu mereka masuk ke dalamnya hingga mereka tak terlihat lagi.

“Akhirnya misi kita berhasil paman Sam,” kata Ruby kepada kucing putih yang tersenyum melihat kepergian Aira dan Moza. “Iya, kita berhasil lagi Ruby. Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi Aira dan Moza,” kata paman Sam. “Semoga Aira menjadi anak yang lebih baik dan Moza tidak menjadikan kekayaan dan kecantikan untuk menyombongkan diri,” kata paman Sam lagi. Lalu mereka melihat lingkaran hijau di dinding itu menciut dan kembali memantul ke pecahan bohlam yang kemudian kembali utuh.

“Baiklah Ruby, sekarang kita lihat siapa gerangan di bohlam itu yang akan menjadi bagian dari misi kita,” ajak kucing putih itu pada si burung emas. Setelah mengamati bohlam tersebut agak lama kemudian mereka saling berpandangan dan berkata serempak, “ Misi akan segera di mulai.”

cerita ini dapat dilihat juga di:

Facebook