Berikut adalah ulasan singkat untuk cerpen:

Empat Elemen Tiga Nyawa – karya A.R. Dani

Heart Speaker – karya Alfian Daniear

Hujan – karya D. Catcher

Inti Khatulistiwa – karya Catzlink

I Wake for Thousand Years – karya Kuro M

Jemma dan Sang Naga – karya Light

Kerajaan Hati: Tentang Penantian Musim Semi – karya Chie-chan

Kesempatan Tidak Datang Dua Kali – karya Vania Ivena

Kisah Lain Nawangwulan – karya Tya

Kota Para Penjarah – karya Luz Balthasaar

Ksatria Putih dan Labirin Dunia Kegelapan – karya Shao An

Kunci Hitam – karya T. Rossi

Empat Elemen Tiga Nyawa – karya A.R. Dani

Villam:

Kisah fantasi remaja (atau anak ya?) tentang dua orang bocah yang tiba-tiba (entah kenapa) ingin bermain di pabrik dekat sekolah. Di sana mereka melihat dua orang meragukan, masuk, dan melihat bahwa dua orang itu ternyata penjahat yang mau menjadi manusia super (saya masih kurang paham juga kenapa orang-orang ini tidak membuat saja laboratorium yang lebih terpencil di dekat rumah mereka). Kedua bocah tertangkap, tapi bisa lepas dari ikatan karena membawa pisau lipat, lalu (gilanya! Benar-benar mereka punya pikiran gila) mereka meminum ramuan ajaib buatan si orang jahat tanpa berpikir panjang. Saya akui, penulisan cerita ini cukup rapi sehingga saya bisa lancar membaca sampai akhir, tapi saran saya, supaya terasa lebih logis, diberikan alasan-alasan kuat kenapa tokoh-tokohnya bertindak ini dan itu. Dan karena ini cerita yang belum selesai, mudah-mudahan Dani bisa menyelesaikannya dan menghasilkan cerita yang lebih bagus dan solid.

Dian:

Eh? Kok tiba-tiba habis? Kok nggak selesai? Dani, menurutku bagian awal cerpen ini bisa lho, dipangkas sampai betul-betul hanya bagian dari plot saja. Nah, jumlah kata yang tersisa bisa digunakan untuk menyelesaikan cerpen ini. Misalnya, bagian telfon-telfonannya itu kalau dihilangkan tidak masalah, kok. Ganti saja dengan kalimat yang menjelaskan kalau anak-anak itu saling bertukar informasi lewat telepon. Lalu lanjutkan ceritanya sampai habis, karena cerpen yang baik itu harus ada awal, tengah dan akhir. Mungkin susah, tapi kamu pasti bisa. Dicoba, ya! J

Bonmedo:

The plot is not gripping enough and some issues with logic which sounded to be forced (ie. Why is that colourful smoke is so scary that people pass out because of it? Not clear why only in that factory that super potion can be made? And some others.

Heart Speaker – karya Alfian Daniear

Villam:

Kisah unik yang diambil dari sudut pandang sebuah buku. Buku itu berisi bahasa Naturspell, yang biasanya hanya bisa dibaca oleh kaum peri, dan di cerita ini akhirnya ada satu manusia yang berhasil mengucapkannya. Betul, ide buku dan Naturspell itu memang cukup menarik, dan itu bisa menutupi  kisah percintaan antara gadis peri dan pemuda manusianya yang tergolong biasa. Supaya seru, maka dihadirkan pula sosok antagonis berwujud makhluk menyeramkan, yang juga bisa berbahasa Naturspell. Cerita lalu berakhir happy ending. Secara keseluruhan ini cerita dongeng yang cukup bagus, dan saya lancar membacanya sejak awal sampai akhir tanpa kesulitan berarti.

Dian:

Universe-nya udah bagus, tapi ada beberapa yang mesih perlu diperhatikan. Perpindahan scene yang terlalu cepat. Contoh:

Dia masuk kembali ke dalam rumah pohonnya.

“Kau mendengarnya?” tanya Elung tiba-tiba. Dia baru saja terbangun dari tidurnya di tengah malam. “Dia bernyanyi lagi,” katanya gembira.

Baris pertama mengatakan bahwa Elung baru saja masuk ke dalam rumahnya, dan sesaat kemudian Elung mendengar sesuatu. Kupikir itu kejadian yang berurutan, tapi kemudian ada informasi kalau Elung sedang tidur dan menjadi terbangun karenanya. Kok cepat sekali? Kenapa nggak diberi keterangan sebelum sesuatu itu terdengar, yang menjelaskan bahwa  itu adalah kejadian lama setelah Elung masuk ke rumah?

Sebenarnya para peri ditangkap untuk tujuan apa, ya? Kalau sebagai mangsa, kok mereka masih hidup?

Aku tahu ini sebelumnya, tapi aku tak mau memberi tahu Elung. Aku takut dia akan gentar menjelajah hutan itu lagi. Karena dialah yang akan menyelamatkanku dari sebuah perburuan abadi mereka.

Dari mana si buku tahu kalau Elung yang akan menyelamatkannya?

Pertempuran berebut buku. Anehnya si buku masih bisa dalam kondisi utuh setelah diperebutkan manusia dan makhluk bercakar, dan kedua petarung masih sempat membuka buku untuk membaca isinya di tengah-tengah pertarungan. Naturspell, yang mestinya punya peran besar bagi Elung, malah hanya berfungsi sebagai pemersatu hati Elung dan Lovina. Padahal tadinya kupikir Naturspell yang dilantunkan Elung-lah yang akan mengalahkan si musuh. Ternyata malah para peri-lah yang mengusir Sharkulla dkk. Kenapa sih para peri itu nggak dari dulu melakukan paduan suara? Kan nggak harus nunggu Elung datang, toh Elung ternyata cuma mikirin Lovina.

Anuuuu …   katanya Elung akan menyelamatkan si buku dari perburuan abadi Sharkulla dkk, tapi kok Sharkulla dkk cuma terusir, sih? Kan mereka bisa aja balik lagi suatu hari nanti? *bayangin Sharkulla menoleh sebelum pergi, lalu mengucapkan ‘I’ll be back’-nya Arnold di Terminator*

Bonmedo:

Strong universe, interesting plot though don’t really like the ending which I thought rather predictable. The language is beautiful and very poetic. But this use of poetic language this much can be a double edge sword as I know some dislike this kind of poetic language which could lead to boredom to some. Hence only 3 on the marketability.

Hujan – karya D. Catcher

Villam:

Kisah tentang seorang bocah pencopet yang ditembak mati di jalanan, di samping ayahnya, lalu masuk ke kehidupan berikutnya. Di sana ia bertemu si Penjaga Toko (semacam penjaga pintu surga, mungkin), naga, lumba-lumba dan kemudian menandatangani (menyelesaikan) kontrak kehidupan yang dulu telah dibuatnya saat lahir (tapi pas si naga bilang ‘sah’ jadi kayak kawinan yak. Heheh…). Keren, saya sangat suka fantasinya. Ah, ini salah satu cerita yang sangat saya suka, dan mungkin tidak akan ragu saya masukkan di jajaran terbaik, jika saja D. Catcher memilih bercerita dengan cara yang lebih sederhana, yaitu menggunakan sudut pandang orang pertama alih-alih sudut pandang orang kedua. Dengan POV orang pertama (atau boleh juga POV orang ketiga), sebagai pembaca rasanya saya akan lebih nyaman dan lancar membaca ceritanya, tidak perlu harus sesekali berhenti dan berusaha menyesuaikan diri dengan POV orang kedua. Jujur, saat membaca setiap ketemu kata ‘kau’ saya selalu mengubah jadi ‘aku’, dan sungguh itu membuang energi. Jadi ada baiknya ya sekalian saja pakai ‘aku’, dan mungkin banyak pembaca akan setuju dengan saya. Cobalah alternatif ini, D. Catcher, dan bandingkan hasilnya. Btw, di akhir cerita kenapa si lumba-lumba bilang si ayah bunuh diri ya, kan sudah jelas dia ditembak juga kayak si bocah, dan makanya wajar pula dapat kontraknya, jadi kenapa di sana dipertanyakan? Hmm… rada bingung saya.

Dian:

POV orang kedua yang kedua di FF *halah*. Sudut pandang yang satu ini jarang dipakai orang karena lebih sulit, jadinya buatku menarik. Dan yaps, ada miss di alinea kedua: kata batin si tokoh utama bercampur dengan alinea biasa. Umm … setelah dibaca sampai akhir ternyata POV orang kedua bercampur dengan POV orang ketiga. Kombinasi yang tidak lazim. I would avoid this, if I were you. Temanya unik, makhluk-makhluknya juga unik, dan dialognya oke. Masalah hanya di inkonsistensi POV. Bisa bermasalah bisa tidak, tergantung pembacanya. Tapi kalau villam baca, kemungkinan dia akan komentar soal ini, hehehe … *lirik vil sambil nyengir* Sempat penasaran, ternyata gulungan kertas itu kontrak kehidupan, ya? Idenya bagus!  J

Bonmedo:

Nicely told story. Universe quite strong, and the language used is beautiful. A bit poetic, but still in the right amount to make it interesting and not boring. The story is quite easy to understand, though the plot I found it somewhat predictable with the exception of the dead father.

Inti Khatulistiwa – karya Catzlink

Villam:

Kisah tentang dunia di masa depan ketika matahari telah terbelah dua, dan untuk itu orang-orang mencari Inti Khatulistiwa yang dipercaya bakal bisa menyelamatkan dunia. Sayoka, sang pencari, masuk ke makam, bertemu dewi masa lalu, dan ternyata Sayoka ini adalah ‘penguasa baru daratan’ (hmm… terlalu kebetulan atau memang kenyataannya begitu, terus terang belum terlalu jelas buat saya). Cerita ini punya ide yang menarik, dan kelebihan lainnya adalah menggunakan latar lokal kota Pontianak. Pembukaannya cukup bagus, walaupun saya berharap ada lebih banyak penggambaran seperti apa dunia yang telah hancur di masa depan itu, buat memberi efek mencekam. Sebagai timbal baliknya, menurut saya adegan perkelahian di belakang bisa lebih disingkat. Kekurangannya, seperti halnya banyak cerpen di ajang FF ini, ceritanya tak sepenuhnya selesai dan masih menyisakan banyak masalah (yang sebenarnya bisa dibuat lebih selesai, jika semua cerita itu mau lebih disederhanakan, alias para penulisnya rela untuk tidak melepas semua-semua idenya masuk begitu saja ke dalam sebuah cerpen). Juga, masih ada banyak kesalahan ketik dan penulisan tanda baca, yang seharusnya bisa dihilangkan jika Catzlink mau (atau sempat) mengedit cermat naskahnya.

Dian:

I like indonesian-setting fantasy. Apalagi yang melibatkan hutan dan alam, seperti yang satu ini. But this story contains some problems. Can somebody tell me what was really happen to the sun? What’s the relation between the sun and Khatulisiwa’s Core? May be Catzlink put the information somewhere and I missed it.

Repetisi istilah ‘inti khatulistiwa’ di awal cerita. Terlalu sering.

Too easy. Password yang sama dengan jumlah anak tangga. Pedang dari sultan, yang intinya zamrud khatulistiwa, keduanya jatuh ke tangan Sayoka yang sama sekali tidak tahu apa-apa soal itu.

Ending yang menggantung. Bukannya nggak boleh, tapi cerita ini terpotong dengan cara yang kurang pas.

Bonmedo:

My biggest problem in this story is the logic. The fact that the world already in its modern stage, wouldn’t we know if the sun not really becoming half but only hiding? And the impact of this catastrophy also unclear. Shouldn’t the reducing of sun into half have a huge impact to earth and its surrounding? The universe also not really clear. It started out as if this is a science fiction story set at modern time. But then later in the story the universe turn into something else all together, deviating all the way from the previous universe setup at the beginning.

I Wake for Thousand Years – karya Kuro M

Villam:

Kisah tentang dia yang hidup seribu tahun, terlupa ingatan namun teringat rasa. Ini bagus, saya menikmati membacanya. Cerita mengalir lancar, rasa lembutnya terasa, keping ingatannya muncul sedikit demi sedikit, dan tokoh-tokohnya hidup dalam dialog dan narasi. Ada lumayan banyak kesalahan ketik dan penulisan tanda baca, dan saya kurang suka dengan penulisan tawa ‘hihihi hahaha’ para Nifalr, yang beneran tuh suara tawa mereka bunyinya garing seperti itu? Lalu agak heran kenapa Kanara tidak takut melihat taring sang tokoh (mungkin taringnya gak lancip-lancip amat kali yak), juga berpikir bahwa seharusnya adegan pembantaian dan tertusuknya si gadis bisa dibuat lebih emosional. Kemudian bagian penyesalan singkat di penutupnya saya rasa tidak sekuat kelembutan yang saya rasakan di awal dan pertengahan cerita, dan teriakan ‘Argh’ itu tidak terlalu membantu penggambarannya. Tetapi secara keseluruhan, ya, saya suka ini, terutama pada pembangunan ceritanya yang berupa interaksi tiga tokoh.

Dian:

Very neat! I like the way you play with words, I like the way you twist the story, I like the romance you grew in it (you should read this one, Miss Swan!). I luv it, Kuro! ^.^

Bonmedo:

Love it. Universe is easily grasp, Poetic language, with just the right amount to keep it moving and interesting. Touching plot and not predictable. Strong characterisation.

Jemma dan Sang Naga – karya Light

Villam:

Kisah tentang Tuan Putri dan Sang Naga, yang berusaha dipisahkan oleh penyihir jahat di istana supaya putri tersebut nanti tidak bisa menjadi ratu. Sebenarnya ini ide awal yang menarik, kalau saja logika atau alasan-alasan untuk mendukung ide tersebut ada dan bisa diterima. Di cerita ini, kurangnya alasan membuat ide tersebut jadi terlihat sedikit aneh. Misalnya, sudah jelas Sang Naga adalah makhluk superior tanpa tanding di kerajaan, dan sudah hidup sejak lama, cukup untuk membuat dia jadi legenda, namun kenyataannya si penyihir dan kawanannya tetap punya nyali untuk berbeda pihak dengan Sang Naga, yang jelas-jelas merupakan tindakan bodoh karena pasti kalah. Cerita bisa jadi lebih menarik kalau saja si penyihir punya kekuatan yang setanding, atau sebaliknya dia bertindak lebih cerdik justru dengan mendekati Sang Naga dan menjauhkan naga itu dari Tuan Putri. Tapi tentu saja, itu hanya pemikiran dari saya. Bagaimanapun tetap ada hal yang saya sukai dari cerita ini, misalnya tokoh Nancy si pelayan, yang gemar merancang bahan obrolan dan gosip. Lucu! Oh ya, catatan lagi, ada baiknya berbagai kesalahan penulisannya diperbaiki.

Dian:

Dialog dan plotnya bagus! Banyak tokoh yang terlibat, tapi bisa dimunculkan dengan tepat, sesuai dengan porsi yang pas untuk masing2 (Nancy is my favorite! :p ).  Si naga sendiri tampil dengan peran yang lebih dari sekedar tunggangan besar bernafas api seperti yang biasanya terjadi di cerita-cerita bertema serupa. Kekurangan cerpen ini hanya sedikit dan tidak begitu fatal, seperti: Gaun tidur dengan pasmen emas indah terayun-ayun, ketika tubuh mungil Jemma melompat-lompat menuju balkon―tanpa memperdulikan retih api dari kerangka perapian berbingkai emas dengan pengorek mengkilat disebelah kiri ruangan à mungkin luput dari perhatian, subyek sebenarnya dari kalimat di atas adalah gaun tidur dan bukan tubuh mungil Jemma. Jadi kalimat berikutnya, memperdulikan retih api, tidak relevan dengan subyek, karena subyek adalah benda mati. Sisa kekurangannya, teknik penulisan yang bisa dengan mudah dipelajari oleh seseorang dengan skill menulis seperti Light ^.^.

Bonmedo:

Logic: If I were the king, I think I would love to have my daughter to be the Queen, and would do anything to keep the dragon together with the princess to fulfill the prophecy. Need more twist to the story. It is a bit forced and rather predictable.

Kerajaan Hati: Tentang Penantian Musim Semi – karya Chie-chan

Villam:

Kisah tentang cinta di musim salju yang telah berlangsung terlalu lama. Cerita diawali dengan kalimat-kalimat puitis yang menarik, lalu dibuka dengan adegan sedih yang sebenarnya saya berharap bisa lebih diceritakan melalui perspektif sang putri dan tidak terasa berlalu begitu saja. Dia bertemu dengan sang raja, dan cerita tiga minggu dipersingkat melalui narasi. Lalu muncul tokoh berikutnya, menjelaskan beberapa hal. Adegan puncak, dan akhirnya tiga bulan kemudian musim semi itu datang. Tidak ada masalah dengan happy endingnya yang memang khas untuk kisah fantasi romantik semacam ini. Saya hanya merasa sepertinya Chie-chan agak kesulitan dalam memadukan potongan-potongan ceritanya menjadi satu cerita pendek yang mengalir mulus. Mungkin jika kejadian-kejadian dalam cerita dibuat dalam rentang waktu yang lebih singkat, mulai dari kejadian awal sampai akhir terjadi hanya dalam waktu beberapa hari dan bukannya bulanan, namun dibuat lebih intens, akan ada narasi atau adegan (termasuk adegan penutupnya yang terlalu gamblang) yang bisa disingkat atau dipotong, dan sebaliknya interaksi antara sang putri dan raja bisa dibuat lebih banyak dan hidup di tengah-tengah. Dengan gambaran interaksi tersebut cinta yang baru tumbuh itu bisa lebih terasa sejak dari tengah cerita, dan bukan cuma muncul karena dikatakan di akhir. Kan tumbuhnya cinta tidak mesti diukur dari lamanya waktu (halah halah). Ya kira-kira begitulah, jika memang cerita mau diakhiri dengan ‘they live happily ever after’.

Dian:

Chie, maaf ya, susah nemu kekurangan di cerpenmu ini. Penulisannya udah bagus, emosinya udah keluar, dan dinginnya udah kerasa hehehe…  Cuma nemu satu miss di logika nih: Kenapa sang raja tinggal sendirian dalam kastilnya? Good question. Yang nyediain makan, siapa? Tidak logis. Seorang Raja bukan Raja kalau tidak punya pengikut, bukan?

Bonmedo:

The beginning was good, but then it lost its intensity when the main character gets into the castle. I also found some problem with the use of words in some of the sentences. It appears that the author tries to much to use big word, which in some of the sentences actually make it sounds odd or a bit too much.

Kesempatan Tidak Datang Dua Kali – karya Vania Ivena

Villam:

Kisah tentang seorang dokter yang tidak ingin lagi menjadi dokter. Cerita dibuka dengan tingkah mengejutkan sang dokter (yang betulan, kalo nanti saya ketemu dokter yang bertingkah macam dia, keinginan membunuh saya juga pasti timbul), yang kemudian terbangun dan menyadari bahwa ternyata dia sudah menjadi orang lain. Dia lalu ditelpon anak buahnya, para pembunuh. Buat saya agak aneh, karena begitu dia menyadari ada sesuatu yang tidak benar, dia seharusnya bisa langsung menelpon para anak buahnya itu untuk mencegah terjadinya pembunuhan, dan bukannya panik sendirian berlarut-larut. Logikanya begitu (tapi jadinya ceritanya nanti kurang seru yak?). Bagaimanapun, saya suka dengan pesan moral di cerita ini, yang tersirat dalam cerita tapi tersurat dalam judul. Kesempatan mungkin bisa datang di kesempatan kedua, tetapi akan lebih baik jika kita melakukannya langsung saat ada kesempatan pertama, karena bisa jadi yang kedua itu tidak akan pernah datang.

Dian:

Begini, cerita ini tentang seorang dokter yang terlalu jenuh dengan hidupnya sehingga ia mengabaikan kode etik profesi dokternya dan memilih untuk meninggalkan panggilan hidupnya. Being  a docter is not only because it’s a profession. It’s your heart that binds you. So, what Ferdi did was too illogical for me. Tapi temanya udah bagus, may be we can fix it a little bit. Mungkin kita perlu momen atau tokoh tambahan yang bersifat fantasi di dalamnya. Jadi Ferdi lebih dari sekedar merasa jenuh, ada dorongan lain yang membuat dia berhenti. Dan ‘trigger’ rangkaian kejadian aneh yang dialaminya lebih dari hanya sekedar tertidur di mobil dan-abrakadabra-dia jadi orang lain. Sedikit input untuk teknik penulisan, can you do something with this one?

Akhir-akhir ini gempa terus terjadi. Satu gempa, disusul gempa yang lain, gempa lainnya, gempa-gempa lainnya, dan gempa yang lebih besar dari gempa-gempa sebelumnya terjadi malam ini.

Kenapa harus ada ENAM kata ‘gempa’ dalam satu kalimat? Kita tidak butuh sebanyak itu, kan? 😉

Bonmedo:

It sad to see that the beginning of the story that was build so strong has to end in an anticlimax ending. Some issue with the logic, I do question what kind of injury that only a doctor can handle (in the story it is implied that the nurse cannot do anything to help), but that injury still let the patient live for quite sometime without any medical help.

Kisah Lain Nawangwulan – karya Tya

Villam:

Kisah Nawangwulan yang selendangnya dicuri Jaka Tarub, diceritakan dari sisi lain, yang gelap dan berdarah-darah. Hm, saya rasa perhatian utama saya (dan mungkin pembaca lainnya juga) pada cerita ini akhirnya tersisa pada sisi sadisnya. Ceritanya sendiri mengalir bagus dari awal, ada beberapa kesalahan ketik tapi tidak terlalu mengganggu, penggambaran karakter tokoh-tokoh putri dari langit itu juga bagus dan terlihat ‘gila’nya. Tapi ya akhirnya begitu, bukan soal teknis bagus itu yang akhirnya terasa, tapi sadisnya doang. Jadi, oke, ini cerita yang dibawakan secara bagus, idenya menarik, namun jelas bukan buat konsumsi anak-anak (Tentu saja tujuan Tya memang bikin bukan buat anak-anak. Di sini saya cuma menyinggung soal marketability).

Dian:

Betul-betul cerita lain dari Nawangwulan. Lucu di awal, mengejutkan di tengah, dan ngeri di akhir. Shocking! Nawangwulan dan kaumnya ternyata makhluk gaib yang bisa berubah wujud menjadi manusia plus sifat kejam mereka yang tidak manusiawi, imagination exploringnya oke! (Walaupun agak menyesal karena telah membaca cerita ini sambil makan >.<) Masih banyak typos dan tanda baca yang keliru (bisa dipelajari dengan cepat J ), atau kekeliruan nama panggilan–kalau semua putri itu bernama depan Nawang, kenapa Nawangwulan dipanggil dengan ‘Nawang’ oleh Nawangsari? Dan Momiji itu apa, ya? Kalau itu buah asli Jepang, nggak cocok dong, dipake di legenda asli Indonesia.

Bonmedo:

My problem here is really the consistency. Consistency of the use of language and even the theme. It is Interesting that the story change from a comedy to a horror – bloodcurling – story. Interesting, I am not sure that I am fond of it, but I do give credit for the shock therapy that the author has given me in the plot and change of character.

Kota Para Penjarah – karya Luz Balthasaar

Villam:

Kisah tentang kaum penjarah dalam perangnya yang menentukan melawan para Penyembah-Bintang. Cerita diawali dengan ‘pemanasan’ perang kedua saudara, yang penuh kegembiraan dan keyakinan. Jago, tanpa rasa takut dan tanpa rasa ragu, keduanya. Mereka bertemu dengan utusan musuh, membuat masalah dan membunuh, lalu bertempur, dan membantai habis. Menang meyakinkan. Seluruhnya ditulis dengan cermat, dan sepanjang cerita saya berkali-kali tertegun, kadang kagum dengan kepandaian Luz merangkai kalimat, tapi kadang pula kesal karena seringkali tersendat, belum paham apa yang sebenarnya dimaksud dalam kata atau kalimat itu jika belum membacanya dua atau tiga kali. Latar belakang perselisihan kedua belah pihak menarik, demikian pula sosok-sosok asli berupa hewan itu (saya belum terlalu ngerti tapinya, mereka pembenci manusia tapi kelihatan begitu nyaman tampil dalam sosok manusia. Apa mereka memang tidak bisa menerima–dan bangga dengan–kodrat mereka sebagai hewan ya?). Yang sedikit kurang buat saya, justru, dalam hal kejutan atau twist. Entah memang tidak ada (dan tidak dimaksudkan untuk ada), atau saya saja yang gagal merasakan. Contohnya, sejak awal para tokohnya yakin bakal menang, dan ya memang menang pada akhirnya, dengan mudah, tanpa sedikit pun tekanan atau ketegangan. Tidak ada sesuatu yang bisa bikin saya ragu akan kemungkinan hasil akhirnya nanti seperti apa hingga menimbulkan penasaran, sebelum ceritanya ditutup.

Dian:

I like the way this story ‘tells itself’. Pemilihan katanya bagus! Sayangnya, efek adrenalinnya kurang terasa. Mungkin karena sejak awal digambarkan para tokoh utama memiliki kemampuan luar biasa dan para penyembah bintang langsung kalah telak apa pun yang mereka lakukan,  kemudian terbentuklah asumsi para-tokoh-utama-pasti-menang-sehebat-apa-pun musuhnya. The protagonists are just too perfect. Coba mereka sedikit lemah, ceritanya pasti lebih dinamis. Oh, by the way, bagaimana caranya menjarah sihir? Dan kenapa Amur mereka rebut, ya, padahal mereka akan lebih nyaman tinggal di hutan, dan bukannya di reruntuhan kota? And no, Luz. Don’t answer these on your comment. Put the answer ON your story J

Bonmedo:

Interesting use of language. Rather unique Characters and fantasy ideas. But … lacking in plot. Too much fighting and not enough story for my liking, hence low score in plot.

Ksatria Putih dan Labirin Dunia Kegelapan – karya Shao An

Villam:

Kisah seorang anak bersama adiknya yang jatuh ke sebuah lubang di tengah hutan, terseret lumpur hitam dan akhirnya masuk dalam labirin. Ini cerita yang bagus, saya bisa lancar membaca dari awal, karena hampir tak ada kesalahan penulisan. Sepanjang cerita saya bertanya-tanya labirin apa yang sebenarnya mereka masuki, mulai menebak-nebak, dan akhirnya saya menemukan jawabannya di bagian penutup cerita. Jadi, menurut saya ini sudah bagus, hanya saja mungkin perlu ditambahkan sedikit penjelasan lagi, di beberapa titik, sebagai penyimpul supaya pembaca juga bisa paham lebih cepat apa yang terjadi. Misalnya, mungkin, ditambahkan satu dua kalimat yang menjelaskan hubungan antara lumpur hitam dan kegelapan yang mengejar mereka di labirin. Juga neon di lorong labirin dengan neon yang (mungkin) ada di luar ruangan tertutup di bagian akhir cerita (Kalau neon itu memang ada ya, karena saya asumsikan berarti walaupun dia sudah dua puluh tahun ada di dalam ruangan tertutup itu dia juga tahu bahwa di luar sana ada semacam lorong yang serupa dengan imajinasinya). Beberapa petunjuk kecil untuk ditambahkan, itu saja.

Dian:

Agak bingung dengan yang satu ini karena sebetulnya bagus dan format narasinya unik, but it doesn’t ‘take me in’. That’s it. Rasanya seperti sedan membaca monolog kisah perjalanan seseorang, yang berakhir dengan pertanyaan apakah itu benar-benar dialaminya atau ia pengidap kelainan jiwa yang mengkhayalkan kejadian itu? Dan tentang Ksatria Putih, sebetulnya mereka itu apa, ya? Sudah baca dua kali, tapi nggak nemu, did I miss sumthin’?

Bonmedo:

The author tries to build the intensity of the story through the world of the unknown and mystery. It does work, but some explanation which relate to logic prolly should be add. Like how the brother survive for 20 years?

Kunci Hitam – karya T. Rossi

Villam:

Kisah epik mengenai perjuangan manusia, elf dan ras-ras lainnya melawan ras kegelapan yang membuat setiap pembaca pasti langsung mengasosiasikannya dengan Legendarium Tolkien. Apalagi penamaan tokoh-tokohnya pun hampir mirip, walaupun T. Rossi juga memberikan nama-nama baru yang cukup unik. Karakter-karakter dan formula cerita segelnya sudah umum dipakai dalam cerita-cerita fantasi, tetapi buat kalangan penggemar dunia elf vs troll, warna klasik itu sekaligus pula menjadi kelebihannya. Ceritanya mengalir, walaupun di awal ada narasi panjang lebar tentang latar dunia yang menurut saya seharusnya bisa lebih dipersingkat. Ada banyak kalimat di mana pemilihan kata dan penempatan tanda bacanya kurang tepat. Deskripsi di adegan puncak juga kurang menggigit, kurang begitu jelas gambaran saat Kunci Hitam beraksi, misalnya. Namun secara keseluruhan saya cukup suka dengan cerita ini.

Dian:

Kisah ini berawal di akhir. Hehehe … maksudnya, ceritanya justru tentang akhir pertempuran, bertentangan dengan banyak cerpen lain yang justru dimulai dari awal kisah tapi endingnya menggantung, dan ini menarik. Gaya ceritanya enak dibaca tapi justru terhambat di karakter-karakter yang jumlahnya banyak tapi deskripsi fisiknya minim. Udah gitu namanya susah dibaca … huhuhu … coba ada gambaran dikiiiiit aja tentang masing-masing tokoh, biar lebih nyantol di ingatan. Dan coba Ara’el lebih bisa berperan, ngapain kek, jangan tergantung sama temen-temennya. Walopun si musuh juga kayaknya udah on their limit dan nggak bisa ngelawan banyak, tapi kan Ara’el bisa tuh nusuk Shades dan Ifis biar pedangnya gak nganggur … sayang, cowok gagah tapi perannya dikit … :”>

Bonmedo:

Way too many things for a 7 pages short story, making this story out of focus and a bit confusing, especially with so many difficult names and character being crampped in such a short story.