KOTA PARA PENJARAH
Luz Balthasaar
—
Cerita ini telah dihapus tetapi nanti akan bisa dilihat di buku Antologi Cerpen Fantasy Fiesta 2010 yang akan segera terbit.
Agustus 24, 2010
KOTA PARA PENJARAH
Luz Balthasaar
—
Cerita ini telah dihapus tetapi nanti akan bisa dilihat di buku Antologi Cerpen Fantasy Fiesta 2010 yang akan segera terbit.
Agustus 24, 2010 at 1:34 pm
Like this!
Sekarang gw paham kenapa loe bilang banyak yg cuma bagian dari cerita2 yg lebih besar.
*grin*
Agustus 24, 2010 at 2:53 pm
Thanks om Fred X3
Aku pikir mestinya masih bisa diperhalus lagi. Aku bikinnya agak buru-buru sih.
Tapi soal “bagian dari cerita besar”… maksudnya yang mana ya?
Agustus 24, 2010 at 2:57 pm
Like always,… beautiful!
FA Pur
Agustus 24, 2010 at 3:04 pm
ada salah ketik dikit, tapi enggak ngeganggu
yg gw selalu suka dari tulisan seorang Luz adalah permainan kata-nya
gw sering amazed gimana kok bisa2nya ‘something like this’ lalu ditulis jadi ‘something like that’
😀
tentang yg bagian dari cerita besar, maksudnya banyak cerpen2 yg kelihatannya cuma secuil dari cerita yg lebih besar, dan entah udah atau belum, cerita2 itu bisa dikembangin lebih jauh lagi (jadi cerpan)
ya, termasuk “Kota Para Penjarah” ini
hmm…
i wonder…
mungkin buyut gw dulunya berhasil menjarah sihir jg kali ya…? ^^
Agustus 24, 2010 at 3:26 pm
@Om Pur: Thanks. Aku dah baca punya Om juga. Ntar Ninggalin komen deh. X3
@Fred: Kalau permainan kata itu soalnya tergantung cara orang mempersepsi sesuatu. kalau pemakaian kataku ‘aneh’, itu karena persepsiku juga ‘aneh’… begitulah…
Kalau gagasan kota ini bisa dibikin jadi cerpan, mungkin ya. Belum kepikiran gimana ngelakuinnya tapi.
BTW, buyut situ kira2 apa yah? Singa, Serigala, Beruang, atau… Silverback Gorilla? XD XD XD
Agustus 24, 2010 at 3:33 pm
yg jelas buyut gw bukan semut
karena kata ewing, semut (seperti lelembut) enggak pusing-pusing mikirin hidup tuh…
hehehe
Agustus 24, 2010 at 5:19 pm
orz orz orz
Ini terlalu imba(lance) … orz Gimana caranya org bisa berimajinasi sejauh itu buat ngebikin hewan memberontak terhadap manusia??? orz orz
*guling2*
Oh, anyway.
*berhenti guling2*
Tadinya gw kira bangsa manusia di sana itu spesifik merujuk pada bangsa Is*ael yg di hampir sepanjang Perjanjian Lama dibilangnya bangsa terpilih. Ternyata pas menjelang akhir gak sespesifik itu rasanya.
Gak ada comment lain, btw. Kecuali ada request mau dikomenin bagian mananya. 😀
Hehe.
Agustus 24, 2010 at 7:03 pm
Ini…keren!
Gw mau belajar bisa nulis cantik kek gini…
Like this
Agustus 24, 2010 at 7:06 pm
Akhirnya ngerti juga jalan ceritanya, sempat bingung dengan deskripsinya yang sering aku salah tangkap dan mengiranya sebagai perumpamaan-perumpamaan yang bertebaran. Deskripsinya harus diakui halus, dengan pemilihan kalimat yang sedikit banyak bergaya para orang-orang yang menyembah keagungan sastra (sumpah mati, aku benci arogansi para kalangan sastra di negeri ini). Btw, soal deskripsi barusan, itu sebuah pujian 🙂
yup, berikutnya mampir ke lapak mana dulu ya?
Agustus 24, 2010 at 7:35 pm
@Juun, memang bukan bangsa IsRaeL sih. Dapat ide utamanya kemaren gara2 baca surat untuk Bos Gede yang ngomongin masalah pemanfaatan sumberdaya. Trus aku jadi kepikiran, mungkin sumberdaya itu bisa fed up juga kalau dimanfaatin ma manusia.
@Mbak El: Thanks. Aku lagi baca Tenmora nih. Sekilas kayaknya kita sealiran pecinta deskripsi cantik ya…
Aku juga harus terus belajar nih.
@Kuro: Thank you berat!
Aku suka sastra memang. Tapi moga-moga aku nggak jadi snob sastra yah, wkwkwkw.
Tar aku mampir2 ke lapak km juga yah!
Agustus 24, 2010 at 7:56 pm
Uwa~ Dpt idenya lbh ke arah sumberdayanya rupanya. I see, I see.
Good work, anyway. 😀 😀 Gw blm bilang kan?
Hehe.
Agustus 24, 2010 at 7:57 pm
“Idih, menjijikkan sekali!” kata Mongku.
“Kau kenapa?” tanya Barnabas
“Cerita karangan tante Luz ini menjijikkan, coba deh kau baca pada bagian ini,” Mongku menggeser tempat duduknya sedikit. Barnabas menjulurkan leher, membaca tulisan:
…
Satu dari mereka akan mengupasku seperti jeruk ranum. Seorang lain akan menjagal bangkaiku lalu membagi-baginya untuk dimakan. Dan orang lain lagi akan mempersembahkan kulitku kepada kepala pasukan.
…
“Kalimat yang bagus. Khas tante Luz yang super sinis.”
“Tapi tetap saja menjijikan” Mongku sampai bergidik, “Padahal menurutku, sekali pun bangkai itu dibagikan dengan jeruk ranum, tetap saja akan bau busuk. Memangnya, wangi jeruk bisa menutupi bau bangkai ya?”
Barnabas menatapnya, bengong.
“Hah?”
Agustus 24, 2010 at 8:08 pm
Euh, seperti yang saya singgung di GRI…
Saya nggak punya kata selain KEREN.
Ini baru jenis laut dimana semua persyaratan untuk menikmati diving terpenuhi.
GJ, Luz
Agustus 25, 2010 at 12:01 am
aku minderrr! >..< numpang belajar ya..
aku suka dengan kata2 "bumi mengundang", maksudnya simpel sih, tapi entah kenapa aku berasanya dalem.
endingnya juga. tadinya aku sudah punya prasangka endingnya bakal gantung karena kebanyakan deskripsi, tapi ternyata tidak.
aku rasa, ini mungkin bakal jadi kandidat pemenang. 😀
Agustus 25, 2010 at 12:05 am
deskripsinya indah. alurnya juga ngalir lancar dan enak… KEREN! >w<
Agustus 25, 2010 at 2:21 pm
@Kou… kalau gitu makasihnya diulang dehh…
Tengkayu berat yah m(_ _)m
Moga-moga aku bisa bikin lautan yang lebih bagus lagi.
@Anggra: Hehe, makasih juga yah jeung. Memang aku berusaha banget bisa memuat semuanya disini. Ya deskripsi yang jelas, karakter yang bisa dibedakan, dan ending yang ga cop-out. Moga-moga pembaca lain berpendapat sama.
Agustus 25, 2010 at 11:17 pm
Mbak Luz punya tulisan lainnya gak? saya mau numpang belajar dong… 😀
Agustus 25, 2010 at 11:21 pm
Ke Blogku ajah, alamatnya ada di namaku. Klik Tag karyaku. Ada semua disitu. Ada satu yang ngomongin seks dan keagamaan, jadi kalau dirasa perlu, bacanya pas lagi sendirian yah.
Thanks. Nanti klo mau tukeran link blog jg bole.
Agustus 26, 2010 at 10:08 am
oke 🙂 thx berat 😀
saya ada blog sih, tapi jarang aktif. lebih sering naruh tulisan di kkom ^^;
Agustus 26, 2010 at 11:19 am
Kalau aku males beredar di k-kom. Mau jadi barang langka, wkwkwkw.
Anyway, jalan aja ke blogku. Aku juga reviewer bantu2 om Pur di fikfanindo, kalau sering main ke sana.
Agustus 26, 2010 at 12:07 pm
iya. pernah baca review arquella-nya. sampe ngakak2 sendiri. 😀 😀 😀 😀 😀
oke, nanti jalan2 di blogmu ^^
Agustus 25, 2010 at 10:23 pm
kereeen kereeen
benar2 kereen
….
ga ada kata2 lagi….
Agustus 25, 2010 at 11:23 pm
Thanks yah…
Sama sama ga ada kata-kata lagi juga kayaknya. ~_~ dah ngantuk lowbatt, powerdown….
Agustus 25, 2010 at 11:07 pm
Tiga kalimat di awal tu dilakukan berurutan? ada jedanya g? sekali aja, ato berulang-ulang? nanyanya aneh, he he… Klo dibikin adegan film kayake lucu…
Numpang promo ya:
Apa yg diucapkan hati kadang2 sulit diutarakan lewat kata2. Tp jika memang rasa tulus itu perlu untuk disampaikan, bgmn?
Aku dengar ada buku yang bisa membantu kita untuk mengutarakan perasaan kita pada yg lain.
Mau tau kisah lengkapnya? Kunjungi
Agustus 25, 2010 at 11:33 pm
…
I’ll never talk again//oh, boy you left me speechless//you left me speechless, so speechless…
Agustus 26, 2010 at 4:36 pm
wuuh, aku merinding…
satukata: keren!
Agustus 26, 2010 at 8:45 pm
Thanks Ivon. Ikut juga ga? kalau ikut, kasih tahu id-nya kalau mau aku komenin.
Smua yang komen disini pasti balik kukomenin, meski kadang agak lama.
Tapi kalaupun ga ikut, glad you enjoyed my story.
Agustus 28, 2010 at 1:55 pm
Yep, aku ikut juga, pake nama D. Catcher, judul ceritanya “Hujan”. Ga hebat-hebat amat kayak yang banyak ada disini sih, tapi aku cukup bangga sama cerita itu, hahahah *ngelantur*.
Makasih, tolong dikomenin sejujur2nya, tapi jangan kepedesan, secara lidahku lidah orang jawa, enggak kuat pedes, hehehe 🙂
Agustus 27, 2010 at 4:09 pm
Wow. Ini pertama kalinya aku membaca tulisan Mbak Luz (di samping repiu-repiunya). Kepiawaiannya menulis cerita emang melebihi bayanganku.
Satu-satunya hal yang membuatku merasa gimanaa gitu adalah soal gimana para karakter manusia terkesan memiliki emosi yang minim. Dingin, hambar gitu. Tapi itu masuk akal bila dikaitin dengan asal-usul mereka.
Kayaknya ini satu lagi kandidat calon pemenang.
Agustus 27, 2010 at 6:55 pm
Thanks Alfare. Moga-moga juri sependapat, wkwkwkw.
Memang emosi manusianya nggak kugali sedalam karakter-karakter utamanya. Sayang memang harus memilih, apalagi kemaren memang moodku lagi mood benci manusia ~_~ jadi ya, anggap aja mereka sial.
Nanti aku mampir ke tempatmu juga. Thanks for reading and enjoying my work.
Agustus 28, 2010 at 4:34 am
waaahhhhhhhh…perlu belajar!!!!!!
ajarin donk,,,^_^
(dengan muka penuh pengharapan)
jadi malu ikut2 lmba kyk ginian…lawannya berat!!!
harus belajar lagi!
Agustus 28, 2010 at 10:17 am
Nggak usah malu kli Qee.
Sampai sekarang pun klo dibandingin ma Sastrawan2 idolaku ya masih bisa dibilang cupu. Aku cuma bisa bangga sama niatku untuk ngejar mereka.
Kalau mau. kapan2 singgah di blogku. Ada linknya di namaku. Tinggalin komen aja klo mau ngediskusiin sesuatu.
Thanks for reading. Ntar aku ke cerita kamu juga.
Agustus 28, 2010 at 1:32 pm
Mantab, kayak sengketa Gaza aja niy..ternyata lebih sengketa ke sumber daya/sihirnya ya?
Bagus sih bagus, tapi duh maap deskripsi berantemnya KADANG bikin pusing..
Mampir mampirlah juga ke cerita saya wahai master 🙂
Agustus 28, 2010 at 3:09 pm
Hiyah, ini orang ketiga yang bilang kalau aku nulis soal sengketa Israel-Palestina tersembunyi. Ya ampun. Jangan-jangan memang alam bawah sadarku udah kepanggil-panggil ke sana (lagi) ya… O_O
Soal berantemnya, bukan cuma berantem. Persepsiku memang agak ‘lain’, jadi kadang untuk deskripsi aku harus rada pasrah kalau ada orang yang kejegal.
Begitupun, ada yang ga masalah juga sih, jadi yang bisa kulakukan paling-paling terus memperhalus.
Thanks dah baca yah. Ntar aku mampir ke punya kamu juga.
Agustus 28, 2010 at 2:46 pm
Ehehehe..
Aku selalu nunggu pengin baca tulisannya mbak Luz xp dan kali ini pun tidak dikecewakan. Beautiful as always, deskripsinya. Di poin-poin tertentu aku agak terdistraksi dengan terlalu banyaknya tanda strip. Contohnya, ‘Menara-Bulan-Paruh masih oke, tapi rasanya abu-dan-salju itu agak gimana, apalagi di kalimat yang ‘abu-dan-salju bertemu abu-dan-salju’…. Mungkin ‘abu salju’ aja lebih oke, tapi itu hanya pendapatku. 🙂 Aku juga kesulitan menggambarkan Samira Kaur di otakku, ketangkepnya dia tua, tapi nggak terlalu jelas apakah dia cowok atau cewek?
Sisanya aku suka, karya ini unggul karena menghadirkan dunia yang sama sekali baru walaupun terbatas dengan jumlah kata. Aku bisa ngerasain settingnya, aku bisa ngerasain sihirnya, ke-fantasi-annya… semua itu hal-hal yang aku masih perlu banyak belajar. Adegan action nya juga dreamy dan jelas, padahal menggambarkan gerakan tubuh dengan kata-kata itu menurut aku bukan hal yang mudah. ^^
Agustus 28, 2010 at 3:18 pm
Kalau soal strip itu, aku juga sempat revisi2 gimana enaknya pemakaiannya. Akhirnya jadinya seperti ini. Kalau masih ada yang ngerasa kedistraksi, muup yah. That’s the best I can come up with ATM +_+
Samira Kaur itu transseksual. Dia ceritanya uke-nya Medved.
Pffft. Just kidding.
Samira itu nama cewek. “Kaur” dalam Sikhisme sebetulnya berarti “Princess”.
So, dalam cerita ini, Semua karakter lain secara teknis manggil dia “Princess Samira.”
Umurnya dia? Aku memang nggak bikin spesifik sih. Terserah semua mau bayangin dia kayak apa. Muda boleh, tua gpp, yg pasti dia lebih tua daripada Barshan dan Kirali.
Mungkin lebih kayak ibu atau Onee-san daripada nenek si…
Agustus 28, 2010 at 6:38 pm
Oh. (“Dia ceritanya ukenya Medved”)
*__* I stopped for a moment thinking that it was true xD
Agustus 28, 2010 at 11:32 pm
Argh, serius? Kepikiran itu bener?
…
…
Matilah. Memang kena karma yaoi aku.
BTW, it’s kinda impossible anyway. Medved itu beruang. (Medved = bahasa Rusia untuk beruang) Samira Kaurnya singa. Trans spesies dunk…
Agustus 28, 2010 at 4:55 pm
Konsep pertarungannya seru! Tapi somehow kurang adil.
Para Penjarah bisa berapparate, jadi senjata-senjata tajam (pedang-tombak) udah pasti percuma. Sementara pihak penyembah bintang seperti nggak punya sesuatu yang bisa diandalkan?
Kupikir setelah berseteru sekian lama, mestinya ada inovasi apa gitu dari sisi mereka, sehingga bisa jadi challenging buat kaum Amur.
BTW, dalam adegan pertarungan pertama, kesan gue seperti jurus-jurus manusia. Saat itu para tokoh belum berwujud animal, ya?
FA Pur
Agustus 28, 2010 at 11:43 pm
Pertanyaan paling mendasarnya Om, kenapa aku harus adil?
Cerita ini tuh semua kota di muka bumi dah diambil sama hewan. Jadilah sisa-sisa manusia ngembara kesana-kemari dalam bentuk warband compang-camping. Boro-boro inovasi. Sekarang manusia ga punya apa-apa lagi selain kefanatikan bahwa mereka adalah pilihan Tuhan.
But still they cling to their past glory.
Sejak awal konsepnya bukan seteru antara dua negara yang berkekuatan sama Om. Ini apocalypse manusia. Dan dalam apocalypse, nggak ada keadilan.
Tanya aja hewan-hewan yang sudah punah (baca: kena apocalypse) sekarang. Adakah keadilan buat mereka?
Agustus 28, 2010 at 11:54 pm
Anyway, reaksi Om Pur ini sebetulnya merefleksi pandangan manusia yang ingin kuangkat.
Manusia makan hewan. Dan hewan ga punya bahasa untuk protes itu ga adil.
Tapi begitu ada cerita—baru cerita lho— manusia digilas hewan, reaksinya?
“Nggak adil! harusnya manusia ini punya inovasi!”
… so much for justice.
Agustus 29, 2010 at 10:22 am
@Luz,
Point gue sebenernya adalah awalnya kupikir si manusia itu goblok banget, nyerang kota Amur dalam kondisi gak punya tactical advantage. Tapi setelah lo tekankan bahwa bungkusnya adalah fanatisme, ya memang cukup masuk akal.
Sebab dalam kondisi nggak fanatik, sesungguhnya mereka punya berbagai opsi, termasuk kerja-sama. Kupikir dalam universe lo pastinya ada dong, kota-kota lain di mana kerjasama itu terjadi (bahkan bisa dalam wujud kawin-campur, mengingat para hewan udah bisa ngambil wujud manusia, hehehe)
Setelah lo jelaskan seperti itu, gue rasa positioning/ pesan filosofis cerpen ini menjadi sangat kuat, dan mengena. Good
FA Pur
Agustus 29, 2010 at 2:02 pm
*ngakak*
Iya sih, mereka punya pilihan untuk “bekerja sama”
But suppose I kill yo’ momma, and I use ‘er hide to make mah boots, wouldja stil wanna cooperate with me, yo’?
Paling masuk akal, begitu mereka punya susuatu yang bisa melebihkan mereka dari manusia, sapu jagad dah.
Agustus 29, 2010 at 2:28 am
bahasanya halus, aku suka. Banyak belajar dari sini, thanx.
Oh ya, bos Luz dulu pernah pake nick Nataku Yue dan pernah nulis novel online berjudul Creed of the Fallen?
Agustus 29, 2010 at 1:40 pm
Sama-sama Brain. Memang aku dulu di VGI, dan pas belajar si sana ngerjain Creed. Capek banget, tapi puas.
Ada rencana aku mau repost naskah asli novel itu, tapi nanti deh. Bentar lagi proyekku yang sekarang dah mau kelar.
Ikut FF2010 Juga ga? Kalau ikut, bilangin judulnya apa, tar aku lihat.
Agustus 29, 2010 at 1:47 pm
ngak ikut kok, waktu tau udah terlambat. Lagipula pekerjaan masih menumpuk dan ide belum juga datang sampai batas waktunya tiba
Selain itu… kalo dibanding sama yang lain sepertinya kemampuanku masih kalah deh :p
Agustus 30, 2010 at 12:57 pm
Gw suka opening & endingnya. Unik.
Banyak pelajaran dari cerpen yang satu ini, selain kelezatannya untuk dinikmati.
In 3 words, cerdas, smooth tapi sadis juga..:)
Salam kenal ya Luz..
Agustus 30, 2010 at 2:54 pm
Hehehe, masa sadiz sih? Kalau kita yang bikin sepatu kulit buaya, kayaknya ga ada yang bilang sadiz…
Thanks udah baca dan enjoy ya Om Baw. Moga-moga dapet ilham setelah baca ini, hehe.
Salam kenal juga. Tar aku mampir di Gerbang Caruban ya…
Agustus 31, 2010 at 4:04 pm
Tepukan keras ke wajah. Geram halus di telinga. Gigitan pelan di leher.
When I first read this, I thought it was a s*x*al intercourse. Untungnya bukan, hehehehe.
Ehm, kritiknya dulu deh. Aku awalnya kerasa agak bingung sama setting cerita ini. Bukan setting secara keseluruhan sih, aku udah bisa bayangin kalo ini ada di semacam dunia medieval. Tapi lebih spesifiknya, setting dimana si aku sama Barshan berada.
Waktu aku baca: Tentu saja, itu berarti hukuman berat—tapi nanti. Aku tak bisa menghajarnya sekarang mengingat aku sedang melayang lima puluh tombak di atas tanah keras. Tak berpegangan, merentang di udara seperti… seperti Bintang-Manusia yang akan segera jatuh.
Aku kira mereka lagi terbang di udara, kaya pake sihir. Apalagi “aku” bilang kalau dia ga terpengaruh gravitasi bumi, jadi tambah yakin aku kalo mereka terbang. Makanya aku ngerasa aneh, buat apa mereka pake pegang sama bertumpu di palang gitu?
Waktu mereka berdua lanjut berantem sampe berubah jadi kabut itu, aku mulai punya bayangan kalo mereka itu ada di dalem menara. Mulai lebih jelas lagi waktu di akhir pertarungan akhirya ada penjelasan detil soal menaranya.
So, saranku, deskripsi soal menara mungkin bisa ditaruh di awal buat menghindari kebingungan kaya pas aku baca di awal2. Itu aja yang sempet bikin aku ga bisa langsung konek sama ceritanya.
Tapi selain itu, ga ada masalah sama sekali. Ceritanya keren, enak dan lancar dibaca. Deskripsi pertarungannya juga lancar dan kerasa indah. Lengkap dengan sifat dan sikap tiap karakternya.
Aku juga jadi penasaran sama sihir di cerita ini. Sihir macem apa yang bisa dipelajari sama hewan dan manusia sekaligus? Pastinya ga perlu baca mantra, kan? Hehehe.
Good job. *jempol*
Agustus 31, 2010 at 6:44 pm
Itu kalimat pertama memang bisa secara bawah sadar ngarah ke seks kok. 😛 😛
Hehehe, ada juga yang nyadar, bagus, bagus.
Soal kritik, tunggu pendapat orang lain kli ya. Kalau ada yang sependapat, coba nanti deskripsi kupindahin kedepan.
Cuman memang aku niatnya awal-awal pokoknya mereka berantem aja, nggak ngejelasin dulu ini dimana. Biar ada sense of mistix.
Soal sifat dan sikap tiap karakternya, thanks. Aku memang berusaha bikin karakterisasi yang halus lewat gaya ngomong dan cara bertarung mereka yang beda-beda. Seneng ada yang nangkep.
Kalau sihir macam apa… mmm… macam apa yah? Nggak baca mantera sih. Aku ngebayangin sihir itu kayak energi yang bikin manusia jadi manusia. Jadi ya begitu dijarah, jadilah para hewan itu serupa manusia. X3
Thanks for reading.
September 1, 2010 at 11:26 am
ini cerita apaan sih?
belum apa-apa udah ngantuk duluan mata ini >.<
I can't see the point of the story.
saran ane ya gan, kalo bikin fanfic jgn bawa unsur kebarat-baratan (entah itu Romans, Greek, etc), bakal lebih ada gregetnya kalo itu terjadi di daerah kita, misalnya di jakarta aja deh, trus agan bisa mengembangkan unsur fantasynya di situ. Soalnya menurut ane, yg kebarat2an kek gini ini berasa baca karya orang luar, bukan karya anak negeri …
CMIIW
September 1, 2010 at 12:00 pm
Wah, banyak yg bakal dengan senang hati mendebat Anda lho. Btw, kenapa memakai anonymous? Dan dengan komentar seperti itu memberi kesan Anda memang datang dengan maksud kurang baik.
1) Ga ada sama sekali unsur ke-barat-baratan. Coba cek sekali lagi deh ^^
2) Fantasy itu tidak harus strict di tingkat lokal, dan justru tipe hing fantasy (fabtasy murni) seperti ini lebih sulit dibuat
3) Dunia fantasy selalu paralel dengan lingkungan sekitar penulisnya. Semua konsep dan ide mendapat pengaruh besar dari situ. Dalam ilmu humaniora, seberapapun kerasnya Anda meniru budaya lain, hanya akan menjadikan akan kembali ke budaya sendiri.
4) Anda sadar atau tidak, tehnik menulis Luz yang ditunjukkan pada cerpen ini di atas rata-rata penulis Indonesia kebanyakan (bahkan saya berani bilang dunia—tehnik menulis akan mentok di level tertentu dan umumnya akan sama pada setiap penulis, selanjutnya semuanya hanya tergantung masalah pola pikir dan kreativitas penulis), terutama untuk masalah deskripsi (walau saya bukan penggemar gaya bahasa seperti itu, karena justru harus membagi konsentrasi antara keindahan dan kenikmatan baca)
Salam,
NB: lebih baik Anda menghargai alasan setiap orang dalam menentukan pilihan. Baik dan benar itu relatif, dan hanya ada di kepala Anda 🙂
September 1, 2010 at 12:17 pm
*membetulkan point no2, salah tulis saking gregetnya, hahaha…
2) Fantasy itu tidak harus strict di tingkat lokal, dan justru tipe high fantasy (fantasy murni) seperti ini lebih sulit dibuat. Di mana bahan tersebut bisa Anda dapat selain dari kreativitas dan imajinasi?
September 1, 2010 at 12:29 pm
hoooo, thx atas penjelasannya gan.
ane menghargai kok tulisannya, kalimatnya indah dan enak dibaca. sebagian besar pujian di kolom komen ini sudah mewakili pujian dari saya kok, tp saya merasa agak bosan, entah kenapa (sy ga berani kasih alasan karena sy emg ga tau alasannya :D)
dan yg tadi itu saya cuman kasih saran aja kok, bukan untuk secara frontal menjatuhkan, maaf ya kalo saya kesannya seperti itu (maaf kalo ane terlalu cablak) T_T
Thx atas penjelasannya ya, bro Kuro. Skrg ane lebih terbuka matanya kalo emg ternyata nulis fantasy itu gak mudah, ane sih lebih ke penikmat bukan penulis, jadi harap maap dan maklum kalo ane gak ngerti yang begituan ^^
September 1, 2010 at 9:25 pm
Hehe, gpp kok, sebagai penulis (walau itu fantasy sekalipun) memang kita sering diminta dukungannya pada nilai-nilai lokal. Sepngetahuan saya, teman-teman yang selama ini berkecimpung di genre ini selalu berusaha masukkin nilai lokal walau itu sangat implicit sekali dan sulit disadari sekali baca. Banyak juga kok yang kepikiran mix high-fantasy dan budaya lokal. Tapi untuk saat ini hasilnya belum maksimal. Kenapa? Karena sumber dari budaya kita sendiri masih sangat minim dan kurang. Yah, kebanyakan dari kita sih hanya memakai sebagian saja unsur tersebut, tidak seluruhnya.
Anyway, di Indonesia sekarang ini memang rata-rata penulis fantasy masih belum matang jika dibandingkan dengan genre lainnya. Tapi mereka belajar dengan cepat untuk bersaing dengan genre lainnya. Coba ingat-ingat kondisi sekitar lima tahun lalu dan sekarang, terasa ga pergerakannya?—bahwa semakin banyak karya fantasy yang memenuhi standar minimum kualifikasi penerbit.
Yup, sekian aja. Mungkin cerpen ini tidak sesuai dengan selera Anda, dan mungkin Anda lebih tertarik dengan cerita lain. Silahkan dibaca-baca, sapa tahu ada yang bisa sangat menarik perhatian Anda ^^
September 1, 2010 at 7:30 pm
Saya rasa selalu ada cara yang baik dan sopan untuk mengungkapkan kritik atau komentar, Bung Anonymous. Kalau saya jadi Anda, saya tidak akan dengan frontal menyatakan cerita ini tentang apa, dst tanpa terlebih dahulu mencoba memberi kesempatan pada pengarang untuk menjelaskan dengan cara menanyakan apa yang tidak Anda ketahui secara baik dan sopan.
Dan soal kebarat2an, saya jadi mengira Anda ini telah membaca banyak karya dalam negeri. Berkenan berbagi pada kami karya anak negeri apa saja (tidak termasuk teenlit, metropop, chicklit dan sejenisnya karena lingkup pembicaraan kita adalah fiksi fantasi) yang telah Anda baca dan seberapa banyak dari berapa banyak yang menggunakan setting lokal?
Maaf apabila ada kata2 saya yang menyinggung Anda. 😀
Hehe.
September 1, 2010 at 12:03 pm
Wew, hehehe. O_O
Biar ajalah Kuro. Juun pernah bilang ‘kan, efeknya komentar anonymous di internet?
Aku paham kok kalau ada yang nggak mengerti. Kita nggak bisa orang-orang melihat apa yang nggak bisa mereka lihat, ‘kan?
Thanks for the appreciation.
September 1, 2010 at 12:05 pm
*muup, maksudnya, kita nggak bisa memaksa orang-orang melihat apa yang nggak bisa mereka lihat.
September 1, 2010 at 12:09 pm
Gw pernah beberapa kali juga dapat komentar senada, bahkan dari penerbit. Setidaknya kita tahu bahwa ini mengindikasikan Fantasy dalam negeri masih di anak tirikan. Ingin rasanya gw kasih ceramah sastra dan budaya, setelah itu gw suruh bedah buku. Di kampus gw paling ogah bedah buku fantasy, mabok simbol soalnya, ga kuat ~_~”
September 1, 2010 at 12:13 pm
Hmm… aku mah sudah sering sih. Dan kadang jadi geli sendiri kalau baca komen2 dari mereka.
Tapi begitulah. Kalau orang butawarna, masa dipaksa ngelihat warna sih?
September 1, 2010 at 12:21 pm
Ya kita buat jadi suatu saat nanti mereka bisa melihat warna. Kan itu tujuan komunitas kita selama ini. Kita sudah berkembang jauh dan mulai dikenal, bahkan ada penerbit yang khusus menaungi karya-karya sejenis. Jika generasi kita belum mampu mendobrak, ya setidaknya si Leniefay, atau generasi berikutnya, dan berikutnya lagi, dan lagi!
Cheers! ^^
September 2, 2010 at 12:00 pm
Luz, mau protes nih!
Di cerita, Samira Kaur itu ditulis kakek Samira Kaur. Terus ternyata arti Kaur itu sendiri adalah Princess. Jadi bener Samira Kaur itu transeksual? Atau yang mana nih? Kalo dia emang transeksual, kenapa juga Kirali manggil dia kakek?
Ehhh bentar-bentar… Jadi maksudnya yang nyuri sihir itu adalah kakek dari Samira Kaur, bukannya Samira Kaur sendiri ya?
Kalo kayak gitu, aku jadi rada bingung kenapa penduduk kota Amur menganggap Samira Kaur itu pemimpin mereka. Hanya karena dia singa? Tadinya, kalau dia yang menjarah sihir, berarti dialah awal perlawanan tersebut, yang jadinya wajar kalau orang lain ngikutin dia.
Seseorang dianggap pemimpin karena ada sesuatu yang lebih dari orang lain kan? Jadi, apa lebihnya Samira Kaur?
September 3, 2010 at 5:56 pm
*nimbrung*
walo 🙂
mungkinz, karna kakekny azalah yang merebut zihir, jdi mahkoza kevemimvinannya zurun zemurun, zan pluz, zamira kaur itu zangat verkharizma, zerta zeorang bad-ass vembangkang…
oh, ak zuka kata ini: kharisma~ *gak nyambung*
vtw, mungkin zimbolisme? kn zinga zering dianggap zebagai razja hewan…wkwkwk, vegitulah.
*kupindahtangankan mikenya, dan kabur ke kamar mandi* XD
September 6, 2010 at 2:11 pm
Well, more less bener sih, Rie. Kakeknya Samira Kaur itu yang pertama kali ngerebut Amur. Kenapa dia jadi pemimpin, lihat aja karakterisasi yang kubuat. Pantaskah dia, dengan karakter demikian, menjadi pemimpin?
Moga2 kejawab. Thanks dah baca. XD
September 4, 2010 at 4:22 pm
excellent….
September 6, 2010 at 2:11 pm
Thanks mas Nenangs! XD XD XD
Diharapkan supportnya untuk karyaku yang berikutnya!
September 5, 2010 at 5:08 pm
Seusai membaca cerita ini, ada beberapa hal yang langsung terbayang di benakku. Satu, Inuyasha si siluman rubah yang berambut putih kelabu dan bertelingan segitiga beludru. Kedua, Animal Kaiser karena bangsa hewannya jago kungfu. Tapi ya, ini memang cerita menarik yang dituturkan dengan sejumlah istilah unik.
Adegan paling suka: karpet kulit manusia. Ternyata selain menjarah sihir, mereka juga menjarah kemampuan bertekstil. Wkwkwkwk.
Adegan paling gak suka: musuh yang totally underpowered baik dalam strength, equipment, maupun intelligence.
Harapanku: ada super bad ass big boss yang harus dikalahkan kolab Kirali dan Barshan.
September 6, 2010 at 2:12 pm
Sama dengan yang kutulis di blogku, jawabnya.
Thanks dah baca yah heinz!